82 Tahun Berkiprah, Ngesti Pandowo Pentaskan Lakon Tahta Hastinapura
Onlinekoe.com, SEMARANG – Di Indonesia hanya tinggal tiga grup Wayang Orang yang masih eksis dan rutin pentas. Grup Wayang Orang Sriwedari (Solo), Bharata (Jakarta) dan Ngesti Pandowo yang tertua. Ngesti Pandowo didirikan 1 Juli 1937 di Madiun, setelah melanglang pentas di berbagai kota di Jawa, kemudian menetap di Semarang.
Genap 82 tahun Wayang Orang Ngesti Pandowo berkiprah. Untuk memperingati dan merayakan Hari Ulang Tahunnya Wayang Orang Ngesti Pandowo, Sabtu, 6 Juli 2019 akan mementaskan lakon bertajuk: “Tahta Hastinapura”dengan sutradara Wiradiyo. Di Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Semarang, Jawa Tengah.
Ketua Wayang Orang (WO) Ngesti Pandawa, Joko Mulyono mengatakan, ketenaran Ngesti Pandawa sekitar tahun 1960an dibuktikan dengan seringnya diundang ke Istana jika ada tamu negara.“ Ngesti Pandawa terkenal dengan trik malihan, silih rupa, kemudian setanan. Kemudian adegan Gatot Kaca terbang,” katanya saat ditemui di TBRS.
Joko menambahkan, bahkan beberapa kali saat Presiden Soekarno kunjungan ke Semarang sempat melihat Ngesti Pandawa pentas di GRIS Jalan Pemuda, yang saat ini menjadi Paragon Mal.
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960, Paguyuban Wayang Orang Ngesti Pandowo memperoleh piagam dari Presiden Republik Indonesia. Penghargaan berupa piagam “Wijaya Kusuma” diberikan pada tanggal 17 Agustus 1962, berkat upaya dan kiprah para seniman yang telah menghasilkan karya seni budaya yang ada di Kotamadya Semarang.
Seperti dikutip sejarahnya dari laman Akun Resmi Official Wayang Orang Ngesti Pandowo, iawalnya sejak didirikan 1 Juli 1937, berkiprah di Madiun, tetapi akhirnya menetap di Semarang. Menggelar pentas sejak era tahun 1940- an, Grup Wayang Orang Ngesti Pandowo telah menjadi ikon budaya Kota Semarang. Bahkan kini menjadi salah legenda Kota Semarang.
Wayang Orang Ngesti Pandowo, dirintis oleh seniman kawakan semacam Sastro Sabdho, Narto Sabdho, Darso Sabdho, Kusni, dan Sastro Soedirjo, Ngesti Pandowo sejatinya grup wayang orang asal Madiun. Tahun 1940, Ngesti Pandowo meniti puncak keemasannya berkat keuletan, ketelatenan, ketelitian, seniman dan seniwatinya. Setelah mengalami masa sulit pada tahun 1945, mulai tahun 1949 sampai 1966 mereka mulai menata kegiatan. Puncaknya,ketika mereka beroleh kesempatan pentas di Istana Negara Jakarta yang dihadiri oleh Presiden RI Pertama Bung Karno.
Menurut sesepuh WO Ngesti, yakni Cicuk Sastro Sudirjo, keberadaan mereka di Semarang berawal ketika proses manggung wayang orang masih kelilingan (tobong). Mereka singgah di beberapa kota, termasuk Semarang. Wali Kota Semarang era 1950-an, Hadi Supeno, rupanya kesengsem berat melihat kepiawaian pemain Ngesti Pandowo, baik dari solah, bawa,ataupun patrap mereka ketika manggung. Menuruti kecintaan akan budaya serta mencegah agar Ngesti tak pindah ke mana-mana, Wali Kota kemudian membangunkan Kompleks GRIS Semarang untuk aktivitas berkesenian.
’’Nah, sejak itulah keluarga besar Ngesti Pandowo menetap di Semarang. Sampai akhirnya dipaksa pindah pada tahun 1996 setelah muncul persoalan lahan GRIS,’’ kata Cicuk.
Lantaran ’’dipinggirkan’’ atau berpindah paksa setelah persoalan lahan, awak Ngesti tercerai-berai. Sebagian tinggal di kawasan Arya Mukti, Rumah Susun Bandung Bondowoso, sementara lainnya tinggal di kawasan Banyumanik.Namun, itu tak menyurutkan langkah awak Ngesti untuk tetap memilih wayang orang sebagai ajang berkesenian.Ngesti Pandowo tetap eksis, diperkuat puluhan anggota dan mempunyai jadwal tetap manggung di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) setiap akhir pekan menghibur masyarakat Semarang sekaligus nguri-uri budaya yang semakin langka. (Christian Saputro)