Ketua MPR RI Ajak Kukuhkan Nilai-nilai Pancasila Dalam Sosialisasi 4 Pilar
KEBUMEN – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan pondok pesantren memiliki peran penting dan strategis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang selaras dengan tujuan nasional. Sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea keempat.
Tidak hanya sampai di situ, sejatinya kiprah dan kontribusi pondok pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga telah tercatat dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa. Dimana banyak para tokoh agama, alim ulama, para santri yang menjadi bagian penting dan menjadi salah satu pilar pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Dewasa ini orientasi untuk membangun sumberdaya manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia, sebagaimana yang diajarkan di pondok pesantren, menjadi semakin penting. Apalagi di tengah derasnya arus globalisasi dan lompatan kemajuan teknologi informasi yang menawarkan nilai-nilai yang tidak selaras dengan jatidiri bangsa, ideologi dan dasar negara kita, Pancasila,” ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI saat kunjungannya ke Dapil-7 Jawa Tengah hari ke-2 di Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu Kebumen Jawa Tengah, Jumat (19/1/24).
Hadir antara lain Ketua Yayasan Rubath Al-Kahfi Somalangu Fauhan Fawaqi, Direktur Akademi Komunitas Al-Kahfi Mohamad Baefi Soamalang, Ovia Afitrihaqi, Kepala SMA Islam Al-Kahfi Somalangu Ovia Afitri, Kepala SMK Ma’arif 3 Somalangu Hidayat Aji Pambudi dan Kepala SMP Islam Al-Kahfi Somalangu Ulfa Nursolikhah.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, seiring perjalanan sejarah bangsa Indonesia, Pancasila telah mengalami pasang dan surut dalam pusaran dinamika zaman. Melampaui berbagai dimensi perubahan sosial dan melewati berbagai ujian kebangsaan. Dalam kaitan ini, setiap elemen bangsa, termasuk dari kalangan pondok pesantren, memiliki peran penting untuk berdiri di garda terdepan ‘membela’ Pancasila.
Urgensi untuk ‘membela’ Pancasila bukan tanpa dasar. Berdasarkan serangkaian hasil survei tentang Pancasila ditemukan relevansi dan kontekstualitas argumen yang mendasari pentingnya merawat dan memperjuangkan nilai-nilai luhur Pancasila.
“Hasil survey Media Survei Nasional (MEDIAN) yang dilakukan pada periode 30 Mei sampai dengan 3 Juni 2021, menemukan fakta bahwa sebanyak 49 persen responden berpandangan bahwa Pancasila belum dilaksanakan dengan baik dan benar. Selain itu, survei Pusat Studi Pancasila UGM bersama Indonesia Presidential Studies juga mencatat bahwa hanya 90,6 persen responden menyatakan setuju dengan pandangan bahwa Pancasila adalah Ideologi NKRI. Artinya, masih ada 9,4 persen yang memiliki pandangan berbeda,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN) ini memaparkan, hasil survey Litbang Kompas dan Pusat Studi Kebangsaan Indonesia pada tahun 2022, mencatat hanya 28,6 persen siswa yang memahami Pancasila di ruang kelas, sementara 2,7 persen siswa memahaminya dari media sosial. Sementara, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan fakta yang memprihatinkan bahwa hanya 64,6 persen publik yang bisa menyebutkan dengan benar semua rumusan sila dalam Pancasila.
“Di samping itu masih ada 12,3 persen publik yang tidak bisa menyebutkan dengan benar satu pun rumusan sila dalam Pancasila. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pemahaman Pancasila di tingkat yang paling elementer sekalipun, masih menyisakan persoalan,” urai Bamsoet
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, keprihatinan terhadap hasil survei tentang Pancasila tidak berhenti sampai di sini. Survei Setara Institute yang dipublikasikan pada tanggal 17 Mei 2023 mencatat 83,3 persen siswa SMA menganggap Pancasila bisa digantikan oleh ideologi yang lain.
“Saat ini masih ada yang menganggap Pancasila hanya sebagai istilah yang tidak benar-benar dipahami makna filosofisnya. Kondisi ini mengisyaratkan adanya kegagalan dalam menghadirkan Pancasila sebagai tata nilai yang kompetitif. Sehingga ‘kalah bersaing’ dengan nilai-nilai modernitas dan pragmatisme yang menjejali ruang publik yang ditopang oleh derasnya arus globalisasi,” pungkas Bamsoet. (*)