Semarang – Sebuah peristiwa kesenian (budaya) bisa terjadi di mana saja. Jadi tak hanya di Gedung Kesenian, Museum, Gallery dan Artspace.
Pelakonnya pun bisa siapa saja tak harus senman tetapi bisa dilakukan oleh siapa pun termasuk warga kampung. Sebuah helat budaya telah ditaja oleh “Komunitas Pinggir Jurang” di Kawasan Perumahan Bukit Manyaran Permai (BMP) Blok T No.14 Sadeng, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (22/06/2024).
Helat budaya yang bermaterikan pameran seni, pentas musik, puisi, dan seni lainnya ini diinisiasi oleh Achmad Basuki salah satu perupa Semarang yang kiprahnya pernah menjadi salah satu patron yang karyanya dengan simbolis dan menggambarkan keadaan sosial masyarakat.
Pengamat Seni Rupa Semarang Muhammad Rahman Athian dalam tulisannya mengatakan bertajuk : Artsimetris membeberkan merasa tergugah ketika menyimak postingan Mas Bas –begitu panggilan karib Achmad Basuki— di berbagai platform media sosial yang mendayakan pinggiran jurang justru menjadi medan sosial berupa café tempat kongkow mengolah pikir dan rasa.
“Cara berfikir mas Bas yang menarik ini kemudian saya coba tarik dengan cara berfikir manusia kini, misal intensi seniman pasti ingin terkenal, ingin kaya melalui komodifikasi karya pada ranah ekonomi? ,” tulis Athian.
Namun, lanjur Athian, apa sebenarnya intensi membuat titik di pinggir kota? Jika terkenal yang dicari jelas bukan, bahkan mengkomodifikasi seni di sudut kota? Terlalu jauh rasanya jika dilogikakan. Lalu apa?
Disigi dari gerakannya nampak apa yang dilakukan Achmad Basusi menurut Athian setidaknya ada kesamaan dengan gerakan yang dilakukan Hysteria (Semarang) dan Jatiwangi Art Factory (Jawa Barat).
“Dari dua gelombang seni rupa masyarakat tadi, saya melihat benang merah dengan gerakan Artsimetris ini. Ini merupakan bentuk mas Bas untuk menyetubuhkan seni rupa yang selalu berjarak pada masyarakat,” terang Athian.
Kandidat Doktor Seni Rupa ini menengarai gerakan ini juga merupakan sebuah upaya mas Bas untuk mengangkat tinggi-tinggi bendera yang dibanggakan sebagai alumni “Seni Rupa UNNES” juga berdampak langsung pada masyarakat.
“Dengan mengangkat praktik seni kontemporer dalam kehidupan sehari-hari melalui komunitas Pinggir Jurang ini, diharapkan dapat memberikan dampak sosial secara nyata,” imbuhnya.
Peristiwa budaya yang melibatkan warga disambut dengan hangat dan harapan. Helat ini nampaknya tak hanya dimaknai sebagai hiburan tetapi juga pembelajaran semacam penanaman ideologi.
“Yang saya lihat adalah beragam karya yang menggambarkan keadaan sosial yang ada di masyarakat, sehingga mereka (masyarakat) dapat menyetubuh dengan karya seni yang (katanya) sulit mereka fahami itu,” tandas Athian.
Sementara itu, Lurah Sadeng Kecamatan Gunung Pati, Puguh Priyambodo, ,mengatakan sangat mendukung kegiatan yang diinisiasi Komunitas Pinggir Jurang.
“Harapannya kegiatan kesenian ini menjadi awal bertumbuhkembang dan ke depan bisa menjadi ikon Kampung Sadeng dan menjadi kampong tematik,”tegasnya. (Heru Saputro)