Jawa TengahNASIONALSemarang

Mula Bukaning, Event Berbasis Pendekatan Demografi Wilayah – Identitas Kultural

Semarang – Festival “Mula Bukaning” di Kelurahan Ngijo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang yang ditaja pemggal akhir pekan lalu berlangsung meriah. Berbagai pertunjukan tradisi, ritual hingga berbagai kegiatan kesenian modern lain turut serta mengisi segmen acara Festival Mula Bukaning, yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria.

Berbeda dari tujuh festival kampung lain yang sudah digelar, Kolektif Hysteria bak napak tilas di Kelurahan Ngijo untuk mengawali langkahnya membuka tempat berkolektif baru di titik itu.

Menurut Kepala Proyek Festival, Yasin Fajar, Kolektif Hysteria memang sedang membangun basecamp dan kantor baru di Kelurahan Ngijo dan akan berpindah dari markas lama di Stonen.

“Lokasinya (festival) di Grobak Art Site Hysteria. Kebetulan memang sedang membangun kantor atau basecamp baru di sana,” ungkap Yasin Fajar.

Bak pepatah “Di bumi dipijak, di sana langit dijunjung”, tema yang diangkat sekaligus dijadikan judul festival, tak jauh dari langkah pertama sebagai pendatang yang nantinya akan menjadi warga di sana.

Yakni ‘Mula’ yang berarti awal dan ‘Bukaning’ yang diartikan ‘pembukaan’, atau jika digabung memiliki arti ‘pembukaan awal’ dalam Bahasa Indonesia.

“Mula Bukaning diangkat sebagai festival yang menggunakan pendekatan berbasis identitas masyarakat Ngijo dan demografi space wilayahnya,” kata Yasin.

Menurutnya, tujuan utama dari digelarnya festival kali ini memang terkait ruang pengenalan. Dimana, baik warga maupun Kolektif Hysteria hingga para seniman yang terlibat bisa mengenal satu sama lain.

Baik itu melalui kultur, budaya, seni, tradisi hingga rutinitas keseharian yang dijalani dari masing-masing pihak. Sehingga bisa saling memahami dan menerima.

“Perlu ada laku yang saling memahami, terutama bagi pendatang yang pelru memahami lingkungan sekitarnya. Begitu pun sebaliknya, lingkungan sekitar bisa menerima kedatangan si pendatang,” jelas dia.

Oleh karena itu, pendekatan seni dan budaya yang dilakukan juga berlandaskan akar tradisi yang dimiliki warga setempat. Temuan tersebut lantas dirangkai ke dalam agenda festival.

Di antaranya adalah agenda reresik sendang dan bancaan, forum diskusi bertajuk “Memaknai Sendang meski Zaman Tak Lagi Sama”. Pagelaran Leak dari kelompok Wahyu Turonggo Jati, kuda lumping dari Dharma Muda, pertunjukan gedruk dari Prabu Erlangga hingga live sketch dari Semarang Sketch Walk (SSW).

Yasin menyebut, jika agenda tersebut ramai dikunjungi warga sekitar. Meskipun bukan ritual rutin yang biasa digelar di Ngijo, yakni Sadranan. Seperti keterangan yang diberikan oleh salah satu tokoh masyarakat bernama Eko.

“Kalau di sini yang rutin adalah Sadranan. Biasanya dilaksanakan di bulan Rajab, hari Kamis Wage,” kata Eko.

Adat Sadranan dikatakan Eko sudah sejak lama digelar di Sarean Setono (Ngijo). Di sana terdapat makam pendiri kampung, yakni Kiai Asari yang dikenal karena memiliki ‘gaman’ atau senjata berupa pecut dan kebo giro.

Festival “Mula Bukaning” sendiri merupakan satu dari delapan festival kampung yang masuk dalam Program Purwarupa, di bawah Platform PekaKota dari Kolektif Hysteria.

Seperti penyelenggaraan festival yang lain, Hysteria mempertahankan marwahnya untuk mengedepankan potensi seni budaya dan tradisi lokal jejaring kampung, dalam setiap gelaran.

Tentu saja, dengan mempertimbangkan peran seni budaya dan tradisi dalam pembangunan kota, sebagai identitas masyarakat setempat supaya tidak punah dari gempuran modernitas.
Selain itu, pelestarian sumber daya alam seperti mata air (sendang) turut serta menjadi konsensus utama. Sehingga warga setempat tidak abai dengan kekayaan yang dimiliki oleh tempat tinggal mereka.

“Secara output masih tetap berupa festival dan panggung rakyat. Dengan begitu, tak hanya memantik untuk tetap meneruskan seni-tradisi maupun budaya setempat. Tetapi juga ada kesadaran dalam merawat dan melestarikan sumber daya alam setempat,” kata Yasin menambahkan.

Terakhir, Yasin mengatakan bahwa agenda tersebut masuk dalam Event Strategis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI, dalam Program Dana Indonesiana.

(Heru Saputro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *