The Fed Dan Bank Sentral Eropa Hentikan Pengetatan Moneter
Onlinekoe.com, Kota Medan – pertumbuhan ekonomi global melambat, terutama di negara-negara maju. Jadi Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan Bank Sentral Eropa sama-sama secara simultan, menghentikan pengetatan moneternya.
Hal itu diungkapkan Katarina Setiawan,Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) dalam siaran pers yang diterima sumatrapost di Medan, Sabtu, 13/4/2019.
mereka juga menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi di tahun ini, untuk kawasan masing-masing. The Fed menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi dari 2,3% menjadi 2,1%, walaupun secara umum, The Fed masih melihat ekonomi AS masih kuat.
Terlihat dari tingkat pengangguran rendah, upah meningkat, dan keyakinan konsumen juga kuat. Sedangkan, Bank Sentral Eropa menurunkan prediksi pertumbuhan ekonominya, dari 1,7% menjadi 1,1%.
“Nah ditengah pelambatan pertumbuhan ekonomi, kita juga lihat ada yield inversion atau inversi imbal hasil. Jadi kita melihat di AS, obligasi tenor pendek, seperti 3 bulan, 2 tahun, 3 tahun, yield-nya naik tinggi. Bahkan satu saat lebih tinggi dari tenor 10 tahun,” ujar katarina.
Seharusnya dalam kondisi normal, yield tenor panjang lebih tinggi dari yield tenor pendek.
Jadi terjadi inversi. Ini sempat membuat pelaku pasar bingung. Mereka mengindikasikan suatu sinyal, resesi akan terjadi.
“Kami melihat hal ini (yield inversion) menandakan, keyakinan pasar finansial terhadap ekonomi jangka pendek itu rendah. Tapi terlalu dini untuk menyatakan resesi pasti terjadi. Yield inversion ini bukan terjadi pertama kali di AS. Sudah terjadi beberapa kali, di tahun 1978, 1989, 1998, dan 2006,”katanya.
“Kalau dicermati, apa yang terjadi di masa-masa tersebut, sejak inversi imbal hasil terjadi, indeks S&P 500 masih naik. Bahkan secara rata-rata ada kenaikan 19% dalam periode 12 bulan dari pada waktu inversi itu terjadi,”katanya.
Katarina menyebutkan Itu yang terjadi di global. Bagaimana di Indonesia, apa yang terjadi dengan pasar Indonesia di tengah-tengah pemilu? Untuk menjawab hal tersebut, kita lihat tiga pemilu sebelumnya di 2004, 2009 dan 2014, apa yang terjadi dengan indikator ekonomi dan kinerja pasar? “Kalau kita melihat, di tahun pemilu, nilai rupiah tertekan. Terjadi di 2004 dan 2014, sedangkan di 2009 rupiah menguat. Kalau kita cermati lebih dalam, di 2004 dan 2005, harga minyak naik tinggi, sehingga memicu inflasi sangat tinggi, sampai 17% waktu itu. Apa yang terjadi di 2014, pada waktu itu The Fed menghentikan quantitative easing .
Jadi dua faktor itu sangat menekan nilai tukar rupiah. Tapi kondisi sangat berbeda dengan saat ini. Kalau 2004 dan 2005 inflasi tinggi, sekarang inflasi sangat rendah, dibawah 3%. Dan juga 2014 The Fed mengetatkan moneter, sekarang The Fed malah sangat akomodatif, malah menghentikan pengetatan moneter. Kondisi sangat berbeda. Itu dengan nilai tukar rupiah.
Bagaimana dengan arus dana investor asing di tahun pemilu? ”Kita tidak melihat korelasi yang jelas antara arus dana investor asing dengan pemilu, baik di 2004, 2009 maupun 2014 Beralih dengan kinerja pasar saham di tahun pemilu. Kalau melihat di tiga pemilu sebelumnya, cenderung pasar saham malah naik di tahun pemilu . Kalau pemilu aman, pasar saham malah meningkat. Jadi sebetulnya dari pengalaman yang lalu, pemilu itu bukan suatu faktor untuk ditakuti.
”Jangan takut untuk terus berinvestasi. Apalagi kita melihat dengan berhentinya pengetatan moneter oleh The Fed, terbuka ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga. Jadi sebaiknya jangan takut, jangan khawatir, teruslah berinvestasi sesuai tujuan investasi dan profil risiko masing-masing,” ucap katarina. (tiara)