Kinerja Emiten Q1-19 Di bawah Ekspektasi
Onlinekoe.com, Medan – Pasar domestik, mayoritas emiten telah melaporkan kinerja Q1-2019. Dengan kinerja emiten dan apakah hasil ini mengubah proyeksi akhir tahun IHSG?
Andrian mengakui secara umum kinerja emiten Q1-19 sedikit dibawah ekspektasi dengan pertumbuhan laba bersih rata-rata sebesar 8% YoY. Sektor finansial dan konsumer masih menjadi penopang pertumbuhan laba IHSG, diikuti oleh sektor telekomunikasi dan properti.
Sementara itu, komoditas dan semen merupakan sektor dengan pertumbuhan laba negatif sepanjang Q1-19, sejalan dengan harga komoditas yang juga mengalami tren penurunan dalam 2 kuartal terakhir.
“Kami masih mempertahankan target IHSG akhir tahun di level 6900 – 7100, mengharapkan p peningkatan kinerja di kuartal-kuartal berikutnya. Kami menyadari bahwa ada banyak pelaku ekonomi yang cenderung _wait and see_ menjelang Pemilu di April kemarin. Karena itu dengan berakhirnya penyelenggaraan Pemilu aktivitas ekonomi kami harapkan akan mulai menunjukkan peningkatan yang akan berdampak positif pada kinerja laporan keuangan emiten,” pintanya dalam siaran pers, Jumat 17/5/2019.
Menurut dia, ada mitos di pasar saham “sell in May and go away”. Memasuki bulan Mei ini IHSG bergerak negatif dan nilai tukar Rupiah juga bergerak melemah. Apakah hal ini mengkonfirmasi mitos tersebut juga berlaku di pasar saham Indonesia?
Mitos sell in May and go away_ didasari oleh kepercayaan bahwa secara historis – di Amerika Serikat – pasar saham cenderung melemah di periode Mei hingga Oktober. Namun apabila kita implementasikan di pasar saham Indonesia, berdasarkan data historis mitos tersebut tidak berlaku. Menilik kinerja IHSG dari tahun 1998 hingga 2018, hanya 8 kali terjadi kinerja negatif selama periode Mei – Oktober.
Namun memang memasuki pertengahan tahun pergerakan IHSG dan Rupiah relatif lebih fluktuatif. Pada periode ini Rupiah cenderung melemah karena memasuki periode pembayaran dividen. Selain itu kita juga memasuki periode Ramadhan dan libur Lebaran di pertengahan tahun, di mana pada periode ini perdagangan pasar saham relatif lebih sepi.
Faktor-faktor ini merupakan faktor musiman yang mempengaruhi volatilitas pasar dalam jangka pendek. Walau demikian, idealnya kita melihat potensi pasar berdasarkan faktor fundamentalnya.
“Sejauh ini kami memandang fundamental pasar masih tetap sehat. Kinerja emiten kami ekspektasi tetap tumbuh positif tahun ini dan kondisi makroekonomi Indonesia juga tetap baik. Oleh karena itu kami berpendapat volatilitas pasar dalam jangka pendek dapat menjadi peluang bagi investor untuk berinvestasi secara bertahap,” kata Andrian
. Menurut dia ,faktor risiko terbesar berasal dari faktor global. Salah satunya adalah perkembangan negosiasi dagang antara Amerika Serikat dengan China. Gagalnya negosiasi dagang dapat memicu kembali ketidakpastian bagi pasar dan dunia usaha yang dapat berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi.
Namun sebaliknya, perkembangan positif negosiasi dagang dapat menjadi katalis bagi sentimen pasar. Selain risiko tersebut, sentimen yang dapat berdampak bagi pasar Indonesia adalah MSCI rebalancing di akhir bulan Mei. Porsi saham Indonesia dalam indeks MSCI berpotensi berkurang karena dimasukkannya saham China A-shares ke dalam indeks. Walau demikian ini merupakan one-off event yang sudah diperkirakan pasar dan hanya bersifat sentimen jangka pendek.
“Ada beberapa tema top-down yang kami angkat dalam pemilihan sektor kami. Pertama, dengan adanya ekspektasi penurunan suku bunga BI kami mengunggulkan sektor yang diuntungkan oleh tren penurunan suku bunga. Contoh dari sektor ini adalah perbankan, properti, konstruksi, dan otomotif. Kedua sektor yang diuntungkan dari fokus pemerintah untuk mendukung daya beli masyarakat. Contoh dari sektor ini adalah _consumer discretionary_. Selain itu secara _bottom-up_ kami juga melihat potensi menarik di sektor industrial metals didukung oleh fundamental permintaan dan penawaran yang suportif, serta adanya _supply reform_ terkait pelarangan penambang liar,” Jelas Andrian.(tiara)