Arsop Dewana Minta Pemkab Raja Lebong dan PT ATBD Jangan Bermain Mata
Onlinekoe – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bengkulu dari Daerah Pemilihan (Dapil) Rejang Lebong Arsop Dewana SE, menyoroti persoalan status Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan teh di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu yang kini dalam pengelolaan perusahaan teh PT. Agro Tea Bukit Daun (PT ATBD).
Ia Juga menyoroti soal kerjasama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rejang Lebong dengan perusahaan PT. Agro Tea Bukit Daun yang dinilai secara subtansi diduga melanggar dan terindikasi terjadi korupsi.
Pelanggaran subtansi dalam hal ini adalah, ada HGU yang habis tanpa sepengetahuan Pemerintah Provinsi, tanpa sepengetahuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya dibuat kerjasama antara Pemkab dan perusahaan teh tersebut, Ini terindikasi tindak pidana korupsi.
Pemilik HGU-nya harus diperiksa, atas dasar apa kerjasama membangun kebun teh itu, kata Arsop kepada beberapa anggota DPRD Provinsi dan beberapa orang media ketika itu di Kantor DPRD Provinsi Bengkulu, Selasa (3/10/2023).
“Kemudian ada yang namanya Pajak Bumi Bangunan Pemerintah (PBBP), jadi aset-aset pemerintah, kalaupun itu aset kabupaten ada enggak penyerahaannya, ada tidak SK-nya dari BPN menyerahkan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemprov menyerahkan ke Kabupaten atau langsung dari BPN ke Kabupaten. Kalau tidak ada aset, maka pemasukannya tidak benar. Nah sekarang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)-nya siapa yang bayar itu,” ungkap Arsop tegas.
Arsop menyebut, ada yang dinamakan PBBP, kalau lahan itu PBB, HGU itu setiap tahun wajib membayar PBB seluas HGU-nya. Pembayaran PBB itu sesuai yang tertera dalam HGU.
“Nah pertanyaannya, di kebuh teh itu siapa yang bayar PBB-nya. Karena itu HGU, pemegang HGU habis. Artinya bisa terjadi tidak dibayar PBB-nya,” terang Arsop.
“Jika lahan itu masuk pada bagian aset, maka harus diteliti. Apakah aset dibawah perkebunan atau dibawah pertanian dan membayar PBBP (Pajak Bumi Bangunan Pemerimtah). Itu harus ada pembayarannya. Sedangkan Kantor DPRD saja ada PBBP-nya dan dibayar,” jelas Arsop.
Dan jika tidak ada pembayaran PBBP, maka telah terjadi kerugian negara dan jika ada unsur kerugian negara, maka masuk unsur korupsi.
“Karena ada suatu kerjasama pemufakatan jahat melanggar perundang-undangan. Yang tadi HGU habis tapi ada kerjasama perikatan Perdata yang tidak punya hak melakukan perikatan perdata diatas objek negara,” terang Arsop.
“Kemudian perusahaan itukan melakukan produksi dan menghasilkan sesuatu, dimana letak perjanjian pemerintah dengan perusahaan tidak hanya disewa tanahnya. Pertama Pemkab sudah ilegal memungut sewa tanah. Selain itu Pemkab dan Pemprov dirugikan karena kita tidak menerima satupun pajak dari hasil tehnya itu. Termasuk perizinan, apalagi kita saat ini sedang menyusun perda tentang perizinan perusahaan yang beresiko. Sedangkan, investasi ini lah yang dinamakan investasi menyelundupkan perizinan dan itu tidak benar,” beber Arsop.
Arsop menambahkan, pihaknya meminta Aparat Penegak Hukum (APH) turun mengusut hal tersebut terutama soal indikasi dugaan korupsi pada perjanjian kerjasama maupun soal pendapatan yang didapat negara dari aktivitas perusahan perkebunan teh yang menggarap laha saat ini.
Diketahui, perkebunan teh itu lahan produksinya saat ini diperkirakan mencapai lebih kurang 300 hektar dan dikelola PT. Agro Tea Bukit Daun yang kantor atau campnya berada di Desa Sentral Baru Kecamatan Bermani Ulu.
Diketahui bahwa adanya perkebunan teh tersebut bermula sejak adanya kerjasama antara PT. Agro Tea Bukit Daun dan Pemkab RL pada 2004 silam. Kerjasama tersebut terjalin dengan memanfaatkan lahan HGU milik PT. Sembada Naprokom (SN) yang dinilai terlantar dan tidak dikelola lagi. Luas HGU tersebut lebih kurang mencapai 292 hektar dan berada di wilayah Desa Sentral Baru dan Desa Baru Manis Kecamatan Bermani Ulu.
Dalam kerjasama PT. Agro Tea Bukit Daun dan Pemkab RL tahun 2004 tersebut diketahui, Pemkab RL menyiapkan lahan seluas 600 hektare serta memfasilitasi pengajuan perizinan perkebunan. Selain itu, perusahaan memberikan pendapatan kepada daerah dengan membayar sewa lahan sebesar Rp 100 ribu/hektare/tahun untuk lahan yang sudah ditanami. Saat itu, lahan yang ada dari HGU terlantar tersebut hanya ada 292 hektare, sehingga untuk menggenapi menjadi 600 hektare, Pemkab RL akan melakukan pengadaan.
Seiring berjalannya waktu, kerjasama tersebut menjadi temuan BPK RI, tepatnya sejak tahun 2014 lalu. Intinya, BPK menyoroti soal pemasukan daerah serta status lahan yang dikelola PT. Agro Tea Bukit Daun tersebut. Hingga tahun 2019 lalu, kerjasama tersebut kembali menjadi temuan BPK RI dengan persoalan yang sama. Sehingga sejak tahun 2020, sewa lahan naik memnjadi Rp 500 ribu/hektare/tahun.
Namun sayangnya, hingga saat ini, meskipun sudah menghasilkan atau berproduksi aktif, perkebunan teh yang di kelola PT. Agro Tea Bukit Daun tersebut diduga belum memiliki perizinan resmi perkebunan sesuai dengan regulasi yang ada saat ini.
Selain itu, HGU yang dijadikan lahan kerjasama tersebut juga diduga sudah habis masa berlakunya. Sehingga status lahan yang dikelola pihak perusahaan bisa dinilai belum jelas, termasuk perizinannya hingga saat ini.
(jlg).