Babak Baru Recovery Aset Hasil Korupsi : RI-Swiss Teken MLA
Onlinekoe.com, BERN/SWISS – Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly mewakili Pemerintah Indonesia menandatangani Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance/MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Senin (4/2/2019), lusa kemarin, waktu setempat.
Ditandatanganinya MLA ini menandai babak baru kerja sama hukum bagi pemajuan diplomasi internasional kita, mengingat sahabat Indonesia sejak 1952 itu adalah negara financial center terbesar di belahan Eropa.
Sehingga, perjanjian MLA RI-Swiss ini merupakan pula capaian kerjasama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa dan jadi sejarah keberhasilan diplomasi yang sangat penting bagi pembangunan hukum positif Republik.
Sebelumnya tercatat, pemerintah telah menandatangani perjanjian serupa dengan ASEAN, Australia, Hong Kong, Tiongkok, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Iran.
Menkumham mengafirmasi, perjanjian ini yang ke-10 bagi Indonesia. Bagi Swiss sendiri, ini perjanjian MLA yang ke-14 dengan negara non Eropa.
Dalam siaran pers yang diterima redaksi, Rabu (6/2/2019) petang,
Menkumham Yasonna menjelaskan, penandatanganan perjanjian ini sejalan dengan program Nawacita, dan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan, diantaranya pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember 2018 lalu.
“Presiden menekankan pentingnya perjanjian ini sebagai platform kerja sama hukum, khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi (asset recovery),” kata Yasonna.
Menteri asal Nias, Sumatera Utara itu mengimbukan, perjanjian ini terdiri dari 39 pasal, antara lain mengatur bantuan hukum terkait pelacakan, pembekuan, penyitaan, hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.
“Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta,” jelas dia.
Sejalan dengan itu, perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi segala macam bentuk kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud).
“Ini sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya,” tegas dia.
Atas usulan Indonesia, perjanjian yang ditandatangani itu menganut prinsip retroaktif, yang memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian, sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.
“Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini,” Yasonna menekankan dasar usulan itu.
Seperti diketahui, alotnya proses menuju perjanjian MLA RI-Swiss hingga terwujud menggenapi sejumlah kerjasama bilateral kedua negara ini ditempuh melalui dua kali putaran.
Pertama dilakukan di Bali pada 2015, dilanjutkan di Bern pada 2017 untuk menyelesaikan pembahasan pasal-pasal yang belum disepakati di perundingan pertama.
Kedua perundingan itu dipimpin oleh Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Kemenkumham, Cahyo Rahadian Muzhar (kini Dirjen Administrasi Hukum Umum/AHU).
Pasca penandatanganan, Menkumham berharap dukungan penuh DPR nantinya segera meratifikasi, agar dapat langsung dimanfaatkan para penegak hukum dan instansi terkait.
“Atas nama pemerintah Indonesia, saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah Swiss yang telah membantu, memudahkan serta menjadikan perjanjian MLA ini terwujud,” kata Menteri.
Dia juga berterimakasih atas dukungan penuh Dubes Indonesia untuk Swiss Muliaman Hadad dan Linggawaty Hakim (Dubes sebelumnya, periode 2014-2017, Red) serta kementerian/lembaga, khususnya pejabat otoritas Kemenkumham, Kemlu, Kemenkeu, Kejagung, Polri, KPK, dan PPATK yang telah bersama-sama mewujudkan dan menyaksikan penandatanganan MLA tersebut. [red/rls/mzl]