Di Semarang Membaca Karya, Berbagi Kisah dan Kenangan
Onlinekoe.com | Semarang – Pesastra Yudhistira menggelar perjalanan kreatif yang mengusung tajuk “Safari Sastra Yudhistira”. Kegiatan apresiasi sastra yang diinisiasi Yayasan Kerabat Seni Bulungan yang berlangsung dari 13–23 Maret 2022 ini menyasar 6 kota, yaitu; Kendal, Semarang, Magelang, Jogja, Solo dan Tegal.
Setelah menggelar acara bersama Sindikat Budaya di Kendal, yang berlangsung Spice Kichen, Soe Inn Hotel, Kendal , Minggu 13 Maret 2022, perjalanan berlanjut di kota Lumpia.
Bengkel Sastra Taman Maluku (BeSTM)dibawah komando Sulis Bambang dan koordinator Didiek WS menyam but Yudhistira dkk dengan menaja hajat malam sastra ddi Monod Huis, Kota Lama, Semarang, Senin 14 Maret 2022.
Penyair Yudhistira yang jadi bintang panggung mengakui kalau Kota Semarang menyimpan banyak kenangan. Paling tidak beberapa tahun terakhir ini kota Semarang merupakan destinasi kedua yang banyak dikunjunginya setelah Solo.
Faktanya, tiga bulan terakhir ini Yudhitira sudah dua kali menyambangi dan membacakan sajak-sajaknya di kota Semarang. Bahkan secara khusus di buku antologi puisinya bertajuk, “Jangan Lupa Bercinta” Yudhistira menuliskan sajak-sajak Semarangan.
Pesastra Yudhistira ANM Massardi dan punggawanya Siska Yudhistira, Wita Yudharwita dan Uki Bayu Sejati, disambut helat sastra yang dikemas oleh Bengkel Sastra Taman Maluku (BeSTM) Semarang yang dikemas ciamik.
Meski sedari sore kota Semarang tak henti diguyur hujan, tetapi tetiba helat digelar sekira pukul 19.00 WIB, tinggal menyisakan gerimis yang menderai. Mulailah Monod Huis — salah satu venue di Kota Lama yang sering jadi ajang peristiwa kesenian menghangat.
Sejumlah sastrawan, seniman dan puluhan penyuka sastra Semarang tumplek hadir antara lain Handry Tm , Budi Wahyono, Imam Subagyo, Budi Maryono, Agung M, Hartono Galeri Proses, Mona Palma juga seniman Kendal nampak Kelana Siwi, Slamet Priyatin, Nanti dan Any Faiqoh
Helat panggung sastra Yudhistira yang dinanti pun digelar. Sulis Bambang selaku pemandu acara merangkainya dengan manis. Pergelaran dibuka dengan penampilan Arie solois dari Serang yang melantunkan musikalisasi sastra puisi menyusung sajak “Ibu” karya Yudhistira berkolaborasi dengan Es Cao Dewi yang memainkan karinding ditingkahi petikan gitar Arie yang menyuguhkan pertunjukkan mengharubiru, menghanyutkan dan menghangatkan.
Berikutnya, Yudhistira Sang Arjuna Mencari Cinta, yang jadi bintang panggung melantunkan puisinya bertajuk “Sajak Sikat Gigi”, dari kumpulan sajaknya berjudul sama yang terpilih sebagai salah satu dari empat buku puisi terbaik 1976 -1977. Yang menyandingkan Yudhistira dengan sastrawan senior Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM.
“Peristiwa ini membuahkan polemik hingga bertahun-tahun. Momen ini saya nikmati,” ujar Yudhidtira sembari membeberkan perjalanan di dunia sastra dilanjutkan dengan membacakan sajaknya “Biarin”.
Meski tampil kalem penyair yang pernah diganjar mengikuti program penulisan kreatif di Iowa, Amerika Serikat dan Jepang ini mampu menyihir audien dan menghangatkan suasana malam yang semakin gigil.
Yudhistira berceloteh bagaimana caranya merawat proses kretaifnya dalam berkarya dan merawatnya Meski begitu, sastrawan yang langganan juara sayembara ini pernah meninggalkan dunia sastra antara tahun 2005 – 2015, sekira 10 tahunan.
”Saya sempat berhenti berkarya sastra, karena mendukung istri saya Siska dalam mengembangkan pendidikan dengan metode “Sentra”. Saya selain menggarap medianya juga menulis buku “Bible of Sentra,“ ujar sastrawan cum jurnalis ini.
Karena merasa berhutang dengan dunia sastra, Yudhistira pun, Come Back, dengan karya eksperimennya yang melahirkan buku sajak, “99 Sajak” yang juga membuahkan pemenang dalam lomba yang digelar Hari Puisi Indonesia.
Kemudian menyusul karya lainnya buku “Jangan Lupa Bercinta” dan yang lainnya. Dan terkini dia juga sedang mempromosikan kumpulan sajaknya terbaru, karya bertitimangsa tahun 2020 -2021 bertajuk “Kuatrin, Sektet, Sain dan Corona” dalam safari sastra ini.
Sahabatnya, yang berjibaku di dunia taeter Uki Bayu Sejati dari Kerabat Seni Bulungan, membacakan cerita pendek Yudhistira, bertajuk “Monarsi”. Kemudian Siska Massardi yang mengusung puisi hadiah ulang tahun dan ulang tahun perkawinannya dari sang penyair yang juga suaminya ke atas pentas. Sajak “Nyanyian Hari Tua” dan sajak “Tigapuluh Tujuh”, dibacakan Siska yang kesehariannya sebagai pendidik mengaku baru belajar membaca karya Yudhistira untuk tampil di panggung dalam safari sastra kali ini.
Musikalisasi sastra puisi yang mengusung puisi bertajuk, “Tangisan Bunga” karya Sulis Bambang kembali dipersembahkan oleh Es Cao Dewi dengan dengan iringan petikan gitar Arie. Yang Kemudian disusul penampilan kembali Arie pengamen musik dari Serang yang melantunkan puisi bertajuk, “Jiwaku Sekuntum Bunga Kamboja” karya Panji Sakti yang menggugah.
Kemudian salah satu sajak yang juga fenomenal karya Yudhistira sajak “Rudi Jalak Gugat” dibacakan penyairnya tandem dengan Wita Widharwita dan Uki Bayu Sejati.
Para sastrawan Semarang pun tak diam ikut ambil bagian membacakan sajak-sajak Yudhistira. Tampil berturut-turut penyair Bayu Aji Anwari, Fransiska Ambar Kristyani, Didit Jeepee, Agung Wibowo Patidusa, dan Slamet Unggul .
Perunjukan yang asik menyisakan sedikit waktu untuk dialog dan berbagi. Sejumlah pertanyaan hadir dari penyair Ambar Kristyani, Budi Wahyono tentang trik membaca puisi, penokohan dalam karya dan dari perupa Hartono Galeriproses bagaimana merawat kreativitas agar ajek kreatif berkarya.
Yudhistira mengudar rahasianya proses kretaif dan cara merawat kewarasan sehingga dia meski sudah berusia di atas enam puluhan tetap terus berkarya.
”Harus terus bereksperimen, menjaga kewarasan dan “kenakalan” seperti anak- anak. Maka saya sering datang ke Taman Kanak-Kanak tempat Siska beraktifitas mengajar. Kita harus tetap nakal seperti anak-anak dan tak berhenti bereksperimen, ” ujar Yudhistira membongkar rahasianya.
Yudhistira mengatakan perjalanan safari sastranya ini sebenarnya bertujuan untuk mengompori para sastrawan muda di kota-kota yang dikunjunginya untuk kreatif dan terus berkarya.
“Saya ingin ngompori yang muda-muda agar terus berkarya. Tetapi ternyata banyak juga sastrawan yang sudah gaek-gaek tetap berkarya, sekalian saja, ” ujar pesastra yang punya “bahasa” pengucapan khas baik dalam sajak-sajaknnya, cerita pendek maupun novelnya terkekeh-kekeh.
Tak ada pesta tanpa akhir. Tak ada pertemuan tanpa perpisahan. Malam larut pertunjukkan pun usai menyisakan kenangan yang terus berkelindan dan memantik semangat agar tetap terus berkarya. Kemudian esoknya, Yudhidstira terus bersafari menuju Magelang, Jogya, Solo dan Semarang, menebar aura agar dunia sastra tetap menyala, meskipun dikepung corona.
(Heru Saputro)