Semarang – Semarang Gallery kolaborasi dengan Bale Project sekaligus menggelar duo pameran bersama. Gelaran pameran bertajuk (F) Space, Time, Movemet dan Private Purview ini akan ditaja di Semarang Gallery, Kota Lama, Semarang, mulai 18 Juni – 21 Agustus 2022.
Owner Semarang Gallery Chris Dharmawan mengatakan, kali ini pihaknya bekerja sama dengan Bale Project akan menaja dua pameran bersama yang diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan.
“Untuk pameran bertajuk (F) Space, Time, Movement akan menaja karya perupa Nurrachmat Widyasena dan Septian Harriyoga. Sedangkan pameran yang berjudul Private Purview akan diwarnai karya perupa Adi Sundoro, Anastasia Astika dan Theresia A. Sitompul,” ujar Chris Dharmawan dalam rilisnya.
Pesona “(F): Space, Time, Movement” dan Private Purview
Dalam pameran “(F): Space, Time, Movement” merupakan pameran duet perupa Nurrachmat Widyasena dan Septian Harriyoga akan menggelar 16 karya-karya baru dari dua perupa asal Bandung.
Sedangkan tajuk pameran, ‘F’,mengambil simbol matematis dari ‘gaya’, mengacu pada tema yang dieksplorasi oleh kedua seniman dan bagaimana mereka dapatmenggambarkan kekuatan alam yang tak kasatmata. Gaya terwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari gerakan, gravitasi, panas, gesekan hingga energi potensial yang tersimpan dalam benda diam. Hal-hal tersebut merepresentasikan hukum-hukum alam yang mengatur bagaimana dunia yang kita tinggali ini bekerja.
Dalam pameran ini, kedua perupa Bandung ini menggali keingintahuannya mengenai bagaimana praktik artistik dapat digabungkan dengan sains dan rekayasa teknik serta melihat bagaimana hubungan antara pemahaman manusia mengenai kekuatan alam berkaitan dengan konsepsi kita tentang waktu, ruang, gerak, dan energi dalam pengalaman kehidupan manusia.
“Meskipun kedua seniman memiliki ketertarikan dan kekaguman yang sama terhadap tema gaya dan kekuatan alam, keduanya berkaryadengan pendekatan yang berkebalikan. Septian menitikberatkan proses kreatifnya melalui eksperimentasi langsung dengan material dan mekanika di bengkelnya, sedangkan Nurrachmat lebih memilih untuk mengembangkan gagasannya dari wacana teoritis. Septian menggunakan fisika mekanik untuk menciptakan karya-karya patung yang bergerak, sementara Nurrachmat cenderung menggunakan komposisi bentuk dan abstraksi dalam material yang digunakannya,” beber Chris Dhamawan.
Dalam pameran ini, lanjut Chris, Septian menampilkan patung-patung kinetis yang menggunakan mekanisme fisika sederhana dan juga memanfaatkan elemen alam seperti udara dan gravitasi untuk menghasilkan karya-karya yang dinamis. Karya-karya Septian dapat dinikmati dengan mengamati aspek-aspek formal seperti keseimbangan, ritme, dan gerak, sekaligus merepresentasikan pergerakan kosmologis alam semesta.
Sedangkan Nurrachmat, mengembangkan karya-karyanya dari studinya mengenai gravitasi. Ia menjadikan grafik dan bagan teori fisika sebagai landasan dengan membayangkan bagaimana mereka dapat divisualisasikan menjadi karya artistik.
“Hasilnya adalah bentuk-bentuk instalasi dan objek abstrak yang mengambil konsep fisika teori. Misalnya, ia menginterpretasikan konsep ‘lipatan ruang dan waktu’ menjadi bentuk lipatan dan pelisir, penggunaan bentuk kurva untuk menggambarkan konsep ‘ruang dan waktu yang melengkung, serta warna merah dan biru yang kerap digunakan untuk memvisualisasikan kutub magnet,” imbuh Chris Dharmawan.
Sedang pameran bertajuk “Private Purview” , lanjut Chris Dharmawan, akan menaja 24 karya instalasi dan cetak grafis baru dari tiga seniman: Adi Sundoro, Anastasia Astika, dan Theresia Agustina Sitompul. Pameran ini melihat bagaimana tiga seniman dengan latar yang berbeda menelusuri perjalanan memori dan pengalaman personal mereka.
“Private Purview” sendiri berawal dari ide sederhana untuk menampilkan karya-karya seniman yang menekuni dan terus mengembangkan praktik seni grafis di luar konvensi.
“Namun seiring jalan, para seniman menunjukkan kesamaan lain, yaitu ketertarikan mereka untuk memaknai ulang objek-objek yang dekat dengan keseharian sebagai refleksi pengalaman subjektif manusia. Di satu sisi berbagai pengalaman tersebut terlihat sangat personal, tetapi di sisi lain, terasa familiar dan dekat dengan kita,” ujar Chris Dharmawan membuat penasaran.
Dalam pameran ini, setiap seniman berusaha memberi makna baru pada objek-objek yang dengan mudah kita jumpai namun sering dilalui begitu saja.
Simak saja karya Adi Sundoro, Persatuan Mental Tempe (2022). Pada karya ini Adi melihat bagaimana bungkus gorengan, yang sering terbuat dari bekas dokumen pribadi, bukan hanya sekadar kumpulan berkas administrasi tetapi juga sebagai kumpulan informasi tentangmasyarakat kita.
“Di tangan Adi bungkus gorengan tidak berhenti sebagai ‘limbah’ grafis saja, tetapi dibayangkan ulang menjadi bentuk dan komposisi grafis yang artistik. Anastasia mengumpulkan potret ruang-ruang liminal, yang sekilas terlihat familiar namun terasa asing dan sering kita lewati namun tidak kita tinggali, untuk mendefinisikan ulang makna ‘rumah’ sekaligus menjadipengingat tentang eberadaannya,” ujar Chris.
Dalam seri karya terbarunya, Anastasia Astika yang merupakan jebolan Program Studi Seni Rupa dari Institut Teknologi Bandung menitikberatkan gagasannya pada aktivitas mengumpulkan fragmen memori personalnya yang melihat hubungan antara dirinya dan objek-objek keseharian di sekitarnya.
“Proses seni grafis telah membawa Tika pada pengalaman yang kontras antara meluapkan energi kreatifnya dan mengikuti prosedur yang ketat, antara mengeksplorasi bentuk organik dan menyusun komposisi yang detail,” tambah Chris.
Sedangkan, perupa Theresia merefleksikan bagaimana aktivitas rutin dan momen kecil dalam kesehariannya sebagai ruang untuk berkontemplasi tentang masa lalu dan membayangkan masa depan.
“Karya-karya mereka merupakan cuplikan dan fragmen yang terkait dengan gagasan tentang memori, rumah, hubungan antar manusia, dan perjalanan hidup manusia. Objek-objek yang hadir dapat dilihat sebagai pernak-pernik kehidupan kita semua yang menawarkan kilasan pikiran dan pengalaman para seniman, tetapi di waktu yangsama, mengajak kita untuk menginterpretasi ulang pengalaman kita sendiri,” pungkas Chris Dharmawan.
(Heru Saputro)