Hasil Bumi Aceh Melimpah Mengapa Aceh Harus Miskin dan Tertinggal
Onlinekoe.com, Aceh Utara – Kekayaan alam dan hasil bumi Aceh yang melimpah, tidak menjadikan Aceh makmur bahkan menjadi daerah miskin. Lebih disayangkan lagi, semua hasil bumi Aceh tidak diolah sendiri oleh Pemerintah Aceh, harus diangkut keluar daerah.
Mengamati kondisi Aceh saat ini yang tertinggal jauh dibanding daerah lain Hal tersebut disampaikan H Azhari Ramli, salah seorang mantan staf PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) Lhokseumawe yang pernah berkunjung keberbagai daerah di Indonesia juga mantan Geusyik yang mampu membawa desa yang dipimpinnya yaitu Uteun Geulinggang Kecamatan Dewantarara Kabupaten Aceh Utara meraih juara satu tingkat provinsi Aceh dalam perlombaan Desa Teladan tahun 2013..
Dalam perbincangan dengan Media ini dirumahnya, Kamis (21/3) H Azhari memberi contoh misalnya, sejarah Aceh mencatat kekayaan alam Aceh sudah dikenal sejak zaman kesultanan kerajaan Aceh yang kaya dengan beraneka ragam hayati dan sumber daya alam lainnya bahkan kolonial Belanda dengan berbagai upaya, Aceh harus bisa ditaklukkan yang tujuan utamanya hasil bumi Aceh yang melimpah dan bermutu tinggi bisa mareka
olah dan kuasai..
“Saat Belanda berhasil menjajah Aceh pembangunan sarana angkutan yang diutamakan baik laut maupun darat bagi memudahkan semua hasil Aceh bisa diangkut kenegaranya. Sarana darat yang dibangun adalah jalur rel kereta api sementara laut pelabuhan,”jelasnya.
Untuk pelabuhan lanjutnya, dipilih Sabang, Belanda menamakan Kolen Station (Stasion Persinggahan) hingga ditingkatkan menjadi frij haven (pelabuhan bebas) karena sudah terkenal keberbagai penjuru dunia. Lalu bagaimana kondisi Sabang setelah 80 tahun ditinggalkan Belanda.
Pemerintah Aceh sepertinya tidak berdaya untuk bisa mengembangkan bahkan harus ditutup.
Seraya H Azhari menambahkan, bahwa padahal ketika itu persaingan usaha sektor hasil bumi dan pertanian mulai dari hulu hingga hilir begitu menggiurkan.
Namun apa yang terlihat saat ini terutama bagi pelaku usaha agrobisnis baik berskala menengah maupun besar di masih sangat minim.
“Belum ada generasi pengusaha Aceh yang mampu mengembangkan potensi alam yang terkandung di bumi Aceh”; paparnya.
Dijelaskan pula, peluang produk hasil bumi dan pertanian Aceh untuk memasuki pasar internasional sangat besar. Produk primer perkebunan Aceh, seperti pala, kelapa, pinang, sawit, karet, kakao dan kopi, sudah menembus pasar dunia. Namun lagi lagi sangat disayangkan semua jenis produk pertanian Aceh di ekspor melalui Medan dengan demikian bukan lagi hasil Aceh tapi menjadi hasil Medan.
Selain hasil perkebunan, potensi Aceh juga relatif besar di subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan perikanan. Akan tetapi, di subsektor-subsektor tersebut juga belum banyak baik pengusaha lokal, nasional maupun asing yang berminat mengembangkan investasinya di Aceh. Pengusaha lokal cuma mampu bermain dibidang perdagangan produk luar atau mengharapkan proyek dari pemerintah.
Dalam hal ini alangkah baiknya bila Pemerintah Aceh memberdayakan pengusaha lokal dahulu baru berharap pada investor luar. Karena penyebab utama pengusaha lokal enggan berinvestasi pada sektor pertanian karena belum ada dukungan yang optimal dari perbankan.
Dijelaskan pula pengembangan agrobisnis di Aceh bukan hanya butuh dukungan perbankan, tetapi juga infrastruktur dasar, seperti jalan, irigasi, listrik dan kemudahan berinvestasi selain insentif pemerintah dan dorongan kebijakan makro. Perlu disadari bahwa sektor pertanian
mampu menjadi sektor pembangunan fundamental ekonomi yang mampu menyerap banyak tenaga kerja guna meningkatkan daya beli untuk memperkuat sektor riil.
“Fakta menunjukkan mayoritas masyarakat Aceh hidup dengan bertani. Pemerintah daerah belum fokus ke arah itu padahal anggaran sudah triliunan rupiah yang diterima. Bila misalnya anggaran yang begitu besar lebih terfokus kepada pembangunan infrastruktur, pendidikan dan
pengembangan sektor pertanian serta perikanan, Aceh tidak merana seperti sekarang”, sebutnya…
Selain itu juga masih banyak potensi pertanian yang belum digarap secara optimal. Padahal, pertanian bisa menjadi tulang punggung perekonomian Aceh. Lebih dari sekedar masalah menanam, pertanian juga memiliki banyak potensi yang didalamnya saling bersinergi, seperti industri pupuk, benih dan industri pengangkutan.
Terakhir yang harus diingat pesan H Azhari, satu-satunya yang membuat optimisme Aceh untuk tidak lagi mengalami keterpurukan ekonomi dalam upaya menurunkan angka kemiskinan yang sudah sangat perah saat ini adalah kekayaan sumber daya alam, khususnya sumberdaya hayati. Apabila kita dapat memanfaatkan sumber daya alam dengan baik, tidak mustahil Aceh dapat mewujudkan masyarakat mandiri dan sejahtera. Maka, sektor pertanian layak dikembangkan untuk memberikan pertumbuhan ekonomi Aceh tambah meningkat.
Bahkan Presiden Jokowi saat meresmikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lhokseumawe Desember 2018 lalu di Banda Aceh meminta industri hijau yang maksudnya industri pertanian lebih diutamakan. Namun semua ini diperlukan SDM yang handal baik legislatif maupun
eksekutif.
Ada baiknya karena kita di Aceh belum banyak yang mampu mengolah atau penelitian akibat keterbatasan SDM, tidak haram bila coba menjalin kerjasama dengan daerah lain atau luar negeri. Indistri pertanian dan sector lain membutuhkan pakar ahli. Karenanya masyarakat
kampus harus dilibatkan,”harapnya. (Mahdi)