Ragam

HUAWEI, Perang Platform Teknologi AS Versus CHINA

Dr.Ir.Arman Hakim Nasution, M.En

(MANAJEMEN BISNIS ITS)

Onlinekoe.com – Dalam konteks perang dagang AS China yang memasuki masa *“gencatan senjata”*, Trump mengeluarkan perintah untuk menahan Chief Financial Officer (CFO) Huawei, *Meng Wanzhou* saat transit di Vancouver Canada di awal Desember 2018 lalu, dan memasuki tahap persidangan saat ini.

Penangkapan ini diembel embeli dengan tuduhan bahwa Huawei menjalankan misi sebagai mata-mata melalui teknologi buatannya.

Sebagai perusahaan terdepan dibidang jaringan komunikasi dari China, *PLATFORM* Huawei telah merambah seluruh dunia. Hampir *sepertiga populasi di dunia* diklaim Huawei terhubung dengan perangkat buatannya, yang berarti sepertiga dunia menggunakan PLATFORM yang dikembangkan dan didesain olehnya.

Pasar *peralatan jaringan komunikasi* Huawei secara global menguasai 22%, terbesar di dunia dibandingkan Nokia (13%), Ericcson (11%) dan ZTE (10%). Sementara pangsa pasar *smartphone global China* adalah 34,7%, yang terdiri dari Huawei (16,6%), Xiaomai (9,7%), Oppo (8,4%). Pangsa pasar ini mengalahkan produk AS yaitu Apple yang secara global hanya 13,2%.

Semakin besarnya dominasi produk China membuat Trump ketar ketir. Sebagai pebisnis tulen, Trump secara strategis saya anggap layak cemas. *WHY?* Di era *BIG DATA* dan *DATA ANALITIKAL* ini, *PLATFORM ICT* merupakan sarana ampuh untuk memata matai perilaku konsumen, kecenderungan politik, gangguan koneksi antar perangkat di era IOT, maupun peretasan informasi rahasia (seperti Wikileak) di suatu negara. Setiap scrip percakapan di medsos akan bisa dianalisis oleh pemilik PLATFORM seperti Huawei.

Semakin Huawei menguasai platform global (karena dipakai di banyak negara), maka semakin mudah capture data dan pengolahan data tersebut untuk tujuan intelijen. Apalagi secara politik, China menerapkan kendali kekuasaan bisnis ada ditangan negara (khususnya BUMN nya), mirip-mirip dengan konsep *Sogo Sosha* di Jepang dan relasi *Chaebol* (kongomerat) dengan negara di Korea Selatan.

Dengan penguasaan PLATFORM teknologi ini, maka konsep *OBOR (One Belt One Road)* China tidak sekedar matra *darat (jalur sutra lama)* dan *laut (maritim)*, tetapi sudah melebar ke penguasaan *informasi*, sebagaimana yang pasti juga dilakukan oleh AS/Eropa, Jepang dan Korea. UU intelijen dan keamanan China baru, yang mewajibkan semua lembaga dan warganegara untuk mendukung dan berkolaborasi dalam kerja intelijen nasional memperkuat dugaan bahwa *OBOR informasi* (ICT based) sudah mulai diimplementasikan.

Pertarungan memperebutkan platform dan strategisnya manfaat penguasaan platform ini membuat China berusaha *mandiri* dalam *KETAHANAN INFORMASINYA*.

Bila kita di Indonesia nyaman dengan search engine Google, maka China punya produk yang serupa namanya *BAIDU*. Dan Google pun di banned di China. Bila kita nyaman dengan Facebook, maka China punya produk yang serupa namanya *XIAONEI*.

*SO:* Bagaimana dengan *KETAHANAN INFORMASI* kita? Secara teoritis, kita masih ditahapan *LITERASI DIGITAL*, hanya sebagai user, dan belum memiliki *KETAHANAN DIGITAL*.

Buktinya apa? Kalau di AS begitu diketahui jutaan data-data pengguna Facebook digunakan sebagai bagian dari pencurian data oleh *Cambridge Analytical*, maka konsumen AS banyak yang menterminate sosmed Facebooknya dan mencoba beralih ke model medsos lainnya. Sementara di Indonesia, konsumen Facebook ndak merasa terganggu privacy nya dengan kemungkinan data pribadi mereka dicuri, malah tetap *asyik berselfie ria* dan mempostingnya di laman FB atau Instagram.

Di era IOT yang juga secara inten membutuhkan kemampuan *Artificial Intelligent (AI)* ini, maka untuk menjaga penggunaan AI untuk *ketahanan nasional* maupun AI yang menjaga agar *bisnis proses* berbasis IOT tidak diganggu, maka sudah seharusnya pemerintah segera menyiapkan *AI regulasi*.

Dengan demikian, semangat untuk hanya *ikut-ikutan* PLATFORM apakah buatan AS, Eropa, China, Jepang, atau Korea bisa diminimalisir. *Perguruan Tinggi dan para Teknopreneur muda* di Indonesia memegang peranan penting dalam menelurkan riset-riset unggulan yang menyelesaikan permasalahan dan ancaman riil bagi bangsa dan negara. Sudah seharusnya Problem Solving kontribusi nasional para pakar di Perguruan Tinggi lah *yang mendriven* publikasi internasional, bukan dibalik. Memang dibutuhkan waktu dan biaya lebih mahal, tapi benefit nya kedepan akan lebih tinggi daripada melakukan research as usual. (Christian Saputro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *