Hysteria Magazine Edisi 103 Dirilis, Bidik Peran Orang Tionghoa di Kebudayaan Semarang
Semarang – Kolektif Hysteria melaunching Hysteria Magazine Edisi 103 yang mengusung tema : Peran Orang Tionghoa di Kebudayaan Semarang. Gelaran acara ditaja di Tekodeko Koffiehuis, Kota Lama, Semarang, Kamis, (27/6/2024).
Pemilik Semarang Contemporary Art Gallery, Chris Dharmawan, pada kesempatan itu menyampaikan pandangannya Hysteria Magazine Edisi 103 dengan bidikan utama “Peran Orang Tionghoa di Medan Kebudayaan Semarang” ini dianggapnya termasuk ‘Nyleneh’ dan berani.
Pasalnya, masalah SARA sudah tidak waktunya dibincangkan lagi.
“Bagi saya persoalan itu sudah selesai, karena saat ini yang dibicarakan tentang Keindonesiaan tetapi ketika diusung Hysteria dalam laporan utamanya ini menjadi menarik. Sekarang ini sudah bukan saatnya lagi membincangkan persoalan etnis. Tengok para perupa yang keturunan Tionghoa seperti; Agus Suwage dan lainnya, yang dilihat karyanya asalnya tak dipersoalkan,” sebut Chris Dharmawan.
Dalam Hysteria Magazine edisi tersebut Chris Dharmawan hadir sebagai salah satu narasumber wawancara dalam rilisan tersebut.
Sesuai dengan apa yang ia yakini selama ini, Chris, sebagai salah satu keturunan peranakan, kelahiran Parakan – Temanggung tersebut, tak pernah merasa dirinya berbeda dari orang-orang Indonesia lainnya.
“Sejak dulu, saya tidak pernah merasa dan berbangga diri (konotasi negatif), sebagai keturunan Tionghoa atau peranakan. Ya saya ini orang Indonesia, sama seperti yang lainnya,” tandas Chris Dharmawan, saat memberikan pandangannya.
Enggan dibeda-bedakan, Chris merasa penasaran terhadap reportase utama yang dirilis oleh Kolektif Hysteria, melalui Hysteria Magazine Edisi 103, dengan tema tersebut.
“Justru saya penasaran dan merasa aneh, saat membahas tema launching malam hari ini. Tema tentang Tionghoa maupun peranakan, seperti sudah tidak relevan lagi,” kata Chris.
Bukan tanpa sebab, menurut Chris pembahasan terkait SARA, bukan sesuatu yang mudah. Apalagi jika menengok beberapa tragedi kelam masa lalu, maupun gejolak geopolitik dunia yang ada sangkut pautnya dengan Ras dan Etnis.
Oleh karenanya, Chris seolah ingin tahu lebih dalam, alasan Kolektif Hysteria berani mengangkat wacana tersebut dalam lingkup bidang kebudayaan di Kota Semarang.
Menjawab rasa penasaran Chris, Yvonne Sibuea, salah satu panelis diskusi yang juga terlibat langsung sebagai reporter Hysteria Magazine Edisi ke-103 kali ini.
Datang mewakili Dewan Kesenian Semarang (Dekase), Yvonne Sibuea memberikan pengantarnya terkait alasan Kolektif Hysteria mengangkat nama orang Tionghoa, terkait perannya di medan kebudayaan Kota Semarang.
Bak mengutip semboyan pidato terakhir mantan Presiden RI, Ir. Soekarno;”Jas Merah”, Yvonne Sibuea menyebut, bahwa pengarsipan terkait perkembangan seni-budaya di Semarang harus tetap diabadikan.
Meski sebagai warga peranakan, ia pun sepakat dengan Chris, bahwa tak ada maksud untuk menyinggung ras dan etnis tertentu. Sebab ia pun sudah merasa menjadi Warga Negara Indonesia seutuhnya.
“Pengarsipan ini sangat penting. Karena bagaimana pun, ternyata peran warga peranakan atau keturunan Tionghoa di bidang kebudayaan Kota Semarang, memang betul adanya,” ujar Yvonne Sibuea.
“Tak hanya warga Tionghoa, jika ditengok dari hasil wawancara dengan Ibu Widjajanti Dharmowijono pun, orang Belanda turut serta. Nah, catatan-catatan tersebut yang mencoba kami rangkum, sebagai bagian kecil dari sejarah perjalanan dan perkembangan kebudayaan di Kota Semarang,” sambungnya.
Hal itu diamini oleh Ahmad Khairudin, atau yang lebih akrab disapa Adin. Selaku Direktur Kolektif Hysteria, Adin menyebut bahwa rilisan majalah Hysteria kali ini, memang awalnya terpantik dari ulasan singkat Hersri Setiawan.
Mantan Sekretaris Umum LEKRA Jawa Tengah itu, pernah terjun langsung atau Turba (turun ke bawah), mengamati kondisi seni-budaya di Kota Semarang, pada akhir tahun 1959 silam.
“Dari Hersri yang menyebut bahwa orang-orang Tinghoa memberikan dampak besar bagi hidupnya seni dan budaya di Kota Semarang pada masa itu,” ungkap Adin.
“Mulai dari sumber pendanaan hingga gelaran-gelaran hiburan gratis yang diduga dihadirkan para warga Tionghoa untuk warga pribumi,” lanjut dia.
Meski selanjutnya, Kolektif Hysteria menemukan analisa lain, berkat penelitian Donald Earl Willmott pada tahun 1954-1955.
Melalui buku berjudul, ”The Chinese of Semarang” yang diterbitkan oleh Cornell University Press pada tahun 1960, Willmott memaparkan adanya kesenjangan sosial antara orang Tionghoa dengan warga pribumi, termasuk di bidang seni dan budaya.
Penjajakan panjang selama 12 bulan tersebut, dikatakan Yvonne lebih memberikan gambaran jelas, melengkapi ulasan Hersri yang hanya terjun di pinggiran Semarang.
Walaupun demikian, Willmott menyebut bahwa pada periode pra-Perang Dunia II, terdapat perubahan pandangan oleh orang Tionghoa kepada warga pribumi atau orang asli Indonesia.
“Kelompok atau Komunitas Tionghoa, secara meluas mengapresiasi seni musik, seni tari dan kesusastraan Indonesia. Terlebih ketik periode 50-an, warga Tionghoa justru lebih tergantung pada pemerintah Indonesia,” jelas Yvonne.
Sekali lagi, Yvonne menyebut, pengarsipan perjalanan dari secuil sejarah seni dan budaya di Kota Semarang dipikirnya cukup krusial dan perlu untuk diabadikan.
Baik itu melalui tulisan, seperti pada Hysteria Magazine Edisi 103, sampai dengan bentuk-bentuk yang lain. Misalnya seni visual, audio-visual dan yang lainnya.
Pencatatan itulah nantinya yang bisa dijadikan landasan dan apresiasi bagi para pelaku seni-budaya, atas sumbangsihnya terhadap perkembangan kebudayaan di Kota Semarang.
Tak terkecuali ke-9 narasumber wawancara dalam Hysteria Magazine Edisi 103, yang dinilai memiliki kiprah penting terhadap medan kebudayaan di Kota Semarang tersebut.
Di antaranya adalah Agus Suryo Winarto, Jenny Megaradjasa, Tubagus P. Svarajati, Jongkie Tio, Tan Markaban, Widjajanti Dharmowijono, Beno Siang Pamungkas, Harjanto Halim hingga Chris Dharmawan. (Heru Saputro)