Jawa TengahMEDIA CREATIVESemarang

Hysteria Zine Fest Bedah Perkembangan Zine, Media Alternatif dan Benda Koleksi Seni Visual ‘Terbatas’

Semarang – Kolektif Hysteria menggelar helat Hysteria Zine Fest. di Tandhok Art Space,, Kota Semarang, Jawa Tengah, dari 5 – 7 Juli 2024.Festival yang mengusung tema ‘Diseminasi’ ini diinisiasi Kolektif Hysteria memiliki berbagai segmen. Salah satunya adalah diskusi terkait zine.

Kepala Project Hysteria Zine Fest, Dewi Lestari mengatakan gelaran Hysteria Zine Fest ini masuk dalam rangkaian menuju ulang tahun Kolektif Hysteria yang ke-20 tahun.

“Hysteria Zine Fest ini juga masuk dalam Event Strategis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI, melalui program Dana Indonesiana,” terang Dewi.

Tema yang diangkat untuk masing-masing diskusipun beragam. Gelaran diskusi pertama pada hari pembukaaan Hysteria Zine Fest yang mengambil wacana ‘Seni Rupa dan Zine’.

Sesuai dengan wacana itu, Kolektif Hysteria menggandeng beberapa seniman dan pelaku seni rupa untuk menjadi narasumber diskusi.
Dalam diskusi yang dipandu Winatra Wicaksana tampil sebagai pembicara Hananingsih Widhiasri, Zulhiczar Arie dan dua narasumber lain dari komunitas Terlalu Ghibah.

Hananingsih Sebagai seniman visual yang juga telah merilis 3 zine-nya, menyebut bahwa perkembangan zine; khususnya di Kota Semarang, memiliki perkembangan yang menarik dari sejarah awal mula masuk ke Indonesia.

Menurut Hana jika dinilai adanya pergeseran, maka hal tersebut dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah perkembangan media sosial dan media alternatif visual lain di era kekinian.

Selain itu, Hana begitu sapaan karibnya juga menyebut bahwa layaknya karya seni lainnya, di mana wacana dan isu lahir dari keresahan masing-masing pengkarya dan tidak hanya terbatas pada isu besar terkait ‘pemberontakan’.

“Seperti saya, mungkin lebih memilih menuangkan pengalaman perjalanan saya ketika sedang proses kreatif di sebuah tempat, melalui zine.Dengan pengarsipan itu, saya berharap bisa memantik para penikmat zine saya khususnya, supaya bisa merasakan pengalaman yang saya temui. Yang belum tentu bisa ditemui orang lain,” bebernya.

Gadis asal Wonogiri tersebut selanjutnya mengatakan, sebagai seorang seniman, dirinya juga memiliki ciri khas tertentu dalam zine-zine yang diproduksi.

Yakni terkait kualitas maksimal yang ia buat. Mulai dari kualitas gambar, kertas, hingga pengemasan lainnya. Meskipun hal itu akhirnya menjadi salah satu alasan adanya produksi terbatas, dalam setiap rilisan zine karyanya.

“Kalau saya pribadi memilih memproduksi zine dengan kualitas yang menurut saya bagus. Biar sekalian bisa jadi koleksi juga untuk penikmatnya. Makanya rilisnya terbatas sekali rilis, paling banyak 20 eksemplar. Karena ya memang nggak murah juga. Bisa ngabisin dana 50 sampai 60 ribu rupiah pereksemplar),” jelasnya.

Hal tersebut diamini oleh tiga narasumber lain. Zhulhiczar Arie dan Komunitas Terlalu Ghibah mengatakan jika memang ada kepuasan tersendiri untuk para pecinta zine, mengoleksi zine-zine dalam bentuk fisik.

Sehingga tidak menutup kemungkinan, para seniman akan memproduksi karya dengan maksimal pula. Oleh karena itu, nilai artistik kemudian menjadi poin penting dalam pembuatan zine.
Terlebih jika menyinggung penyebaran zine secara masif melalui media sosial, yang memungkinkan adanya publikasi lebih luas secara daring.

“Karena memang ada kepuasan pribadi ya, sehingga karya fisik zine itu kemudian diproduksi untuk menjadi koleksi. Ini yang akhirnya menjadi salah satu alasan, seniman pun memikirkan hal-hal artistik,” kata komunitas Terlalu Ghibah.

Zhulhiczar Arie menambahkan bahwa mahalnya produksi zine, menjadi salah satu penyebab tak banyak seniman yang bisa menggantungkan hidup hanya dengan produksi zine. “Makanya, jangan harap bisa hidup dengan jualan zine,” katanya sembari tertawa.

Meski begitu, geliat zine di Kota Semarang pada khususnya dan kota-kota lain di Pulau Jawa pada umumnya, justru dinilai lebih inklusif oleh Gregorius Manurung.

Gregorius, salah satu pengunjung acara yang juga mengikuti jalannya diskusi menekankan, bahwa zine adalah media yang tidak terpatok pada bentuk dan wacana tertentu.

Istilah ‘zine’ sendiri kemudian bisa disematkan dalam bentuk selebaran apapun yang diproduksi oleh seseorang. Terkait wacana, itu pun harus dikaji ulang.

Sebab, tidak selamanya berbicara pemberontakan, maka zine diproduksi untuk menentang pemerintah secara gamblang. Akan tetapi, bisa jadi berbentuk pengalaman pribadi yang dinilai memiliki pengaruh terkait protes dari aturan tertentu.

“Dan itu sudah termasuk pemberontakan secara politis. Definisi ini yang harus diperlebar. Jadi saya rasa, meskipun itu pengalaman-pengalaman pribadi secara personal maupun kolektif, ya tetap bersifat politis,” tegasnya.
Pada pamuncak acara diisi pertunjukan musik dari Bekubang, WOL dan Pohon Sardjono. (Heru Saputro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *