NASIONAL

Isu Swasembada Beras Jangan Jadi Komoditas Elektoral Semata

JAKARTA – Kandidat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor 02, Gibran Rakabumi pada debat Cawapres semalam, 21 Januari 2023 menyebutkan bahwa Indonesia pada masa Presiden Jokowi telah mencapai swasembada beras.
Namun Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah memastikan tidak ada swasembada beras di masa Presiden Joko Widodo.

Penegasan Said ini sekaligus meluruskan kesimpangsiuran data agar tidak menjadi komoditas electoral semata.
“Sebagai anggota DPR, yang memiliki tanggungjawab pengawasan, saya ingin menyampaikan kondisi se obyektif mungkin agar persoalan pangan rakyat tidak menjadi komoditas elektoral, serta tidak berbasis pada data yang benar,” tegas Said di Jakarta, Selasa (23/1).
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 2014 hingga 2023 Indonesia selalu melakukan impor beras.
Semisal pada tahun 2014, Indonesia Impor beras 844 ribu ton, tahun 2015 sebanyak 861 ribu ton.

Tahun 2018, atau satu tahun menjelang pemilu 2019, Impor beras melonjak menjadi 2,25 juta ton.
Padahal tahun 2017 impor beras hanya 305 ribu ton.
Hal serupa jelas Said juga terjadi menjelang pemilu 2024.
Impor beras pada tahun 2023 mencapai 3,06 juta ton.
Ini adalah impor beras terbesar sepanjang sejarah republik ini berdiri.
Menurut Said, kalau impor beras dikaitkan dengan bencana el nino, tentu tidak relevan.

Meski demikian, diakuinya pada tahun 2023 lalu Indonesia mengalami el nino dan musim kering yang agak panjang.
Akan tetapi masa ini berlangsung kurang dari 4 bulan.
Dan memang ada kebutuhan untuk menutup pasokan kebutuhan beras dalam negeri sebagai cadangan bila persawahan ada gagal panen.

Namun yang menjadi pertanyaanya, apakah gagal panen sampai memerlukan kebutuhan impor beras mencapai 3,06 juta ton pada tahun 2023?
Said lalu membandingkan hasil panen padi pada tahun 2022 dan 2023.
Merujuk data BPS, pada tahun 2022 produksi Gabah Kering Giling (GKG) mencapai 54, 75 juta ton, sementara pada tahun 2023.

Dan data terakhir yang di sajikan BPS pada Oktober 2023, produksi GKG mencapai 53,63 juta ton.
Data ini belum ditambahkan perhitungannya sampai Desember 2023.
Artinya produksi GKG sepanjang 2023 potensi lebih besar dari data rilis terakhir BPS.
Data BPS juga mengungkapkan produksi beras pada tahun 2022 31,5 juta ton dan periode Januari-Oktober 2023 mencapai 30,9 juta ton.
Artinya masih sangat mungkin ada perubahan data produksi beras sampai Desember 2023.
“Jadi sangat tidak tepat kalau el nino dijadikan rujukan untuk mengungkapkan kebutuhan impor beras dengan skala massif, terbesar dalam sejarah republik ini berdiri,” ulasnya.

Tidak Wajar
Lebih lanjut, Said melihat ada indikasi ketidakwajaran dalam hal besarnya volume impor beras pada tahun 2023.
Pada tahun 2020 lalu, selaku Ketua Banggar, dia sudah mengusulkan kepada pemerintah agar mengubah skema impor.
Saat itu, Said meminta pemerintah mengubah skema impor komoditas dari sistem kuota menjadi impor dengan model pengenaan tarif.
Pasalnya, kebijakan impor dengan sistem kuota syarat dengan upaya memburu rente para pejabat.

Bahkan Ombudsman telah menemukan beberapa waktu lalu perbedaan antara dokumen kuota impor bawang dengan realisasi yang lebih besar dari dokumen.
Rekomendasi ijin impornya sebesar 560 ratus ribu ton di ratas Kemenko Perekonomian, tetapi rekomendasi di Kementan mencapai 1,2 juta ton.
Politisi Senior PDI Perjuangan ini memastikan dengan model impor pengenaan tarif, negara lebih banyak untungnya.
Hal ini sekaligus memutus mata rantai model perburuan rente pada kegiatan impor bisa lebih dikurangi.

Said menilai Debat capres dan cawapres adalah ajang untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan nasional, bukan dari sisi kemampuan pengetahuan semata, tetapi juga sarana rakyat mengetahui kualitas kejujuran, dan kepemimpinan.
Karenanya, sebaiknya calon pemimpin harus berani mengungkapkan data yang jujur.
Apalagi urusan beras ini menyangkut hajat hidup orang banyak, nasib jutaan petani, bahkan nasib mayoritas rakyat Indonesia, karena menjadikan beras sebagai makanan pokok.

Bahkan bagi keluarga miskin, beras menjadi sandaran hidup mati mereka.
Itulah sebabnya Banggar DPR dan pemerintah sejak awal menyepakati negara harus menjamin pangan rakyat, khususnya beras karena memiliki pengaruh besar atas tingkat kemiskinan mereka dalam bertahan hidup.
Oleh sebab itu, urusan beras data dan kebijakannya jangan dijadikan komoditas politik elektoral, apalagi jika disampaikan dengan tidak jujur.
“Tentu hal itu tidak baik. Bagi pemimpin, berani jujur itu bukan kehebatan, tetapi keharusan, sebab kata-kata dan perbuatannya berpengaruh luas kepada rakyat,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *