Kasus Teddy Minahasa, Hendardi: Akselerasi Reformasi Polri Mutlak Dilakukan
Jakarta – Pengarahan langsung Presiden Jokowi terhadap 559 pejabat Polri dari unsur Mabes Polri, Polda dan Polres adalah agenda luar biasa yang menggambarkan kegeraman presiden atas kinerja institusi Polri dalam menjalankan mandat konstitusionalnya menjaga keamanan, memberikan perlindungan dan pelayanan masyarakat dan menegakkan hukum.
Pengarahan massal seperti ini tampaknya kali pertama terjadi bagi Polri di masa Jokowi. Meskipun geram, Jokowi sesungguhnya masih sangat mempercayai Jenderal Listyo Sigit Prabowo mampu memimpin reformasi Polri.
Ketua SETARA Institute, Hendardi, menyebutkan sama seperti banyak kementerian yang menghibur diri dan menghibur atasannya, yakni presiden, dengan menunjukkan kinerja melalui survei-survei kepuasan yang sangat generalis, bias dan tidak purposive kepada ahli yang menguasai isu terkait, institusi Polri juga terjebak dengan prosentase kepercayaan publik yang fluktuatif tanpa lebih dalam mendeteksi persoalan akut dan fundamental yang menuntut penyikapan holistik dan berkelanjutan.
Akibatnya, secara terus-menerus dan beruntun, berbagai persoalan di tubuh Polri menyeruak ke publik.
“Setelah kasus FS (Ferdy Sambo, red), kontroversi konsorsium 303, kegagalan pencegahan potensi kerusahan di Kanjuruhan, kali ini kasus narkoba diduga menjerat petinggi Polri (Irjen Teddy Minahasa, red). Rangkaian peristiwa ini terus merusak kepercayaan publik dan semakin melemahkan kinerja Polri,” ujar Hendardi di Jakarta Jumat 14 Oktober 2020.
Hendardi mengatakan, bukan hanya daya rusak internal yang mengoyak soliditas anggota dan pimpinan Polri, tetapi juga daya rusak bagi publik karena keadilan yang terusik.
Bahkan, karena peristiwa-peristiwa itu, katanya, berbagai kinerja Polri lainnya, juga diragukan profesionalitas dan imparsialitasnya oleh publik. Secara sistematis dan massif gugatan atas kinerja Polri terus bergulir, termasuk kinerja Polri dalam penanganan terorisme.
Hendardi mengatakan, kelompok seperti eks- HTI dan FPI misalnya, terus-menerus mempersoalkan kinerja Polri dan menyebarkan berbagai propaganda yang melemahkan institusi Polri yang saat ini menemukan momentumnya. Belum lagi dugaan perkubuan dalam tubuh Polri yang jika terus dibiarkan akan semakin melemahkan Polri.
“Oleh karena itu, sebagaimana pesan Jokowi dalam pengarahan hari ini ke pimpinan Polri, bahwa Polri harus solid dan harus tampil percaya diri (karena) kalau terlihat ragu dan tidak tegas justru akan semakin menurunkan kepercayaan publik,” katanya.
Keretakan dan terganggunya kohesi anggota di tubuh Polri, bukan hanya akan melemahkan kepercayaan publik tetapi potensi politisasi sistematis kelompok-kelompok tertentu.
Hal tersebut baik dilakukan oleh kelompok yang sejak lama menanti momentum tersebut karena merasa diperlakukan tidak adil dalam penegakan hukum, maupun conflict entrerpreneurs yang memanfaatkan kelemahan Polri hari ini untuk mengganggu keamanan, melakukan tindakan terorisme, maupun menciptakan instabilitas.
Karena itu, kata Hendardi, tidak ada jalan lain bagi Polri kecuali melakukan percepatan reformasi Polri dengan suatu desain komprehensif, berbasis bukti (evidence based) dan berkelanjutan.
“Polri harus solid, profesional, berintegritas dalam menjalankan mandat, sebagaimana pesan Jokowi. Karena jika tidak berbenah, pada akhirnya, kinerja Polri juga akan merusak kinerja Jokowi, karena Jokowi adalah atasan Kapolri,” pungkasnya.***