Ragam

Kolektif Hysteria Gelar Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’ di Kampung Jawi

Semarang – Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’ menjadi agenda cukup meriah yang digelar di Kampung Jawi, Jl. Kalialang Lama, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, pada Jumat (19/7/2024) dan Sabtu (20/7/2024).

Penampakan tersebut terlihat dari banyaknya pengunjung yang datang, serta partisipan yang ikut serta dalam agenda Arak-arakan Gunungan di puncak acara Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’.Gunungan tersebut diarak dari Kelurahan Sukorejo hingga Jembatan Bendo, pada hari Sabtu (20/7/2024) sekitar pukul 16.30 WIB.

Sekaligus menggelar ritual labuhan yang menggabungkan pewarisan kearifan lokal dan kepedulian lingkungan.Berdasarkan keterangan dari Kepala Program Festival sekaligus perwakilan dari Kolektif Hysteria, Muhammad Hadziiq, ritual labuhan diinisiasi oleh tokoh budaya setempat bernama Siswanto. Kemudian, ditapping dengan agenda Purwarupa dari Platform PekaKota-Kolektif Hysteria.

“Untuk acara sebenarnya kita kolaborasi. Kolektif Hysteria punya agenda Purwarupa dari Platform PekaKota dan selanjutnya mengaktivasi Kampung Jawi, untuk membuat kegiatan kebudayaan, Lalu kami merancang bersama kegiatan festival ini bersama dengan warga Kelurahan Sukorejo. Pak Siswanto, sebagai tokoh budaya di sini, kemudian mencetuskan tema dan gagasan tersebut untuk judul festival,” lanjut pemuda yang sering dipanggil Hadziiq tersebut.

Bukan tanpa alasan, Hadziiq menjelaskan jika ada pemaknaan tersendiri baik itu dari penamaan hingga masing-masing segmen yang masuk dalam rangkaian acara Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’.

Jika berdasarkan penamaan, ‘labuhan’ berarti ‘membuang’ atau ‘menghanyutkan’ sesuatu di air dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan ‘kali’ yang berarti ‘sungai’, serta ‘wiwitan’ yang bermakna ‘memulai’.

Ketiga diksi tersebut dirangkai dalam judul dan tema festival, dengan maksud untuk membicarakan perihal wacana lingkungan di sekitar Sungai Kripik, yang dewasa ini sudah mulai tergerus erosi.

Maka diputuskanlah, festival tersebut digelar dan dibalut dengan acara kirab atau arak-arakan yang dirangkai dengan berbagai konsep simbolik serta ritus lain dari budaya warga Kampung Jawi.

“Jadi yang pertama adalah ‘Sepindah Pasrah’, kedua adalah ‘Suba Manggala’, ketiga ‘Drum Band’, keempat ‘Bendera Merah Putih’. Kelima ‘Garuda’, keenam ‘Punakawan’, lalu ada seniman kontemporer, ketujuh ‘Bibit Jati’ berjumlah sembilan,” jelas Hadziiq.

Jumlah bibit pohon jati yang nantinya akan ditanam di sekitar pinggir sungai, menandai ‘itung-itungan’ neptu hari dari penanggalan kalender Jawa. Yakni hari sabtu yang berjumlah 9.

Selanjutnya di baris belakang, Hadziiq menyebut ada rombongan perangkat desa, ayam jago, gunungan, reog dan para partisipan lain yang mengikuti ritual Kirab Labuhan Kali.

“Untuk penanaman bibit jati, karena di sungai itu memang ada isu lingkungan. Erosi, sampai tanahnya longsor. Penggunaan pohon jati, karena akarnya kuat dan kayunya termasuk keras. Jadi cocok untuk memperkuat tanah pinggir sungai,” kata dia lagi.

Keterangan tersebut dibenarkan oleh Izza Nadiya, selaku seksi acara dalam Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’, yang sekaligus ikut serta mempersiapkan acara dari riset awal hingga pagelaran festival bersama warga setempat.

Izza, begitu ia kerap disapa, menambahkan bahwasannya simbolik pelepasan ayam dan penanaman bibit pohon jati, memiliki arti yang cukup mendalam bagi warga Kelurahan Sukorejo. Kaitannya dengan cerita yang dibawa oleh kisah Sunan Kalijaga.

“Sunan Kalijaga disejarahkan mencari pohon jati untuk membangun Masjid Demak, sampai Kalialang,” ujar Izza Nadiya.

Sedangkan untuk pelepasan ayam, dihubungkan dengan cerita penemuan ayam cemani oleh Sunan Kalijaga di sekitar Gunung Maniban, Kalialang (sekarang menjadi Kelurahan Sukorejo). Ayam tersebut lantas dilepaskan oleh sang sunan ke Sendang Kayek.

“Di Sendang Kayek tersebut, hiduplah sepasang kakek dan nenek. Yang cewek bernama Nenek Krompyong dan yang lelaki bernama Kiai Surbani. Kata warga sekitar, memang sudah masih ada makamnya kedua orang tersebut di daerah Mbelik,” lanjutnya.

Tak hanya terkait kisah Sunan Kalijaga, Izza juga menyebutkan cerita lisan lain yang dipercaya warga sekitar tentang asal muasal pengambilan simbol bibit pohon jati. Hal tersebut menjadi dasar kuat, untuk selanjutnya diangkat dalam festival kali ini.

Meski awalnya konsep disusun untuk melarung kepala kerbau, menjadi pelepasan ayam jago, Izza merasa bahwa kegiatan tersebut tetap kental akan makna dan budaya seusai dengan tujuan awal festival diselenggarakan.

Labuhan Kali: Wiwitan, menjadi salah satu agenda titik ke-5 Program Purwarupa dari Platform PekaKota, Kolektif Hysteria Semarang. Memakmurkan Wisata Budaya, Membangkitkan UMKMKampung Jawi, salah satu tempat ikonik bernuansa khas Budaya Jawa di Kelurahan Sukoarjo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah tersebut sudah lama terkenal dengan wisata kulinernya.

Namun pemandangan cukup berbeda terlihat di sekitar area tersebut pada hari Jumat (19/7/2024) dan Sabtu (20/7/2024). Sebab adanya gelaran Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’ yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria bersama dengan tokoh budaya setempat.

Berbagai hiburan tradisi dan budaya ditampilkan. Mulai dari Reog, tari, sampai dengan wayang kulit. Tak hanya itu, puncak acara yang dilakukan pada hari Sabtu sore, juga terlihat nampak meriah.

Yakni kirab atau arak-arakan gunungan dengan agenda puncak pelepasan ayam jago sampai dengan penanaman sembilan bibit pohon jati di sekitar area Sungai Kripik.

“Agendanya mulai dari kemaren hari Jumat. Tetapi memang untuk puncak acara pada hari Sabtu sore,” terang Muhammad Hadziiq, selaku Kepala Program Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’ dari Kolektif Hysteria.

Perlu diketahui, Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’ merupakan salah satu program yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria, bekerja sama dengan para pelaku budaya di Kampung Jawi.

Sehingga untuk pelaksanaannya, festival tersebut digelar secara kolaboratif. Bahkan wacana dan idenya pun berasal dari budaya serta ritus warga setempat.

“Jadi kami riset dan kemudian olah bersama untuk wacana yang akan diangkat dalam festival kali ini. Mengingat, Kampung Jawi sudah sering mengadakan agenda budaya juga yang rutin setiap setahun sekali,” kata Hadziiq.

Sebagai destinasi wisata, Hadziiq menyebut bahwa ‘Labuhan Kali: Wiwitan’ menjadi festival pertama Kampung Jawi bersama Kolektif Hysteria, yang mengangkat isu atau wacana tentang alam dan ritus warga Kelurahan Sukorejo.

“Sebenarnya di sini (Kampung Jawi) sudah sering mengadakan acara atau festival budaya. Seperti Barikan. Tapi untuk Festival ‘Labuhan Kali’ ini baru pertama. Itu kenapa pakai sub-tema ‘Wiwitan’ yang berarti ‘permulaan’,” jelas dia.Berdasarkan kaca mata Program Manager PekaKota yang membawahi Program Purwarupa dari Kolektif Hysteria, Nella Ardiantanti Siregar, Kampung Jawi atau secara luas melibatkan seluruh warga Kelurahan Sukorejo, menjadi kolaborator baru yang tahun ini dijaring oleh Hysteria.

“Tak cuma ‘Labuhan Kali’-nya, tetapi untuk program ini, kami juga pertama kali menggelar acara prototip berupa festival di Kampung Jawi atau Kelurahan Sukorejo,” jelas Nella Ardiantanti Siregar.

Nella melanjutkan, jika biasanya Hysteria membuka aktivasi dengan kampung-kota yang budaya maupun tradisinya nampak tenggelam dengan carut marut perkotaan, berkolaborasi dengan Kelurahan Sukorejo menjadi cukup berbeda.

“Jatuhnya saling berbagi, saling belajar. Karena di Kelurahan Sukorejo dengan Kampung Jawi-nya dan berbagai budaya serta tradisi yang tumbuh di sini, jadi kita tak cuma memberi. Namun juga mendapatkan banyak pengetahuan mengenai wacana budaya, salah satunya ritus,” ungkap Nella.

Ia menyebut bahwa antusiasme warga sekitar pun nampak besar. Terutama waktu pelaksanaan kirab budaya. Tak hanya ikut mengiring gunungan, para warga dan pengunjung menonton pagelaran seni yang disuguhkan hingga selesai.

“Ramai banget ya. Banyak seniman dan budayawan yang terlibat. Mulai dari gelaran Reog ‘ Singo Wijoyo Mudo’, terus ada ‘Wayang Jawi Laras’, ‘Punakawan’, ‘Drumblek’, sampai teman-teman Semarang Sketchwalk yang live sketch di sekitar jembatan,” papar Nella.

Tak cuma itu, digelar pula agenda forum warga yang membicarakan perihal isu lingkungan, sampai dengan Pasar Wengi UMKM oleh warga setempat.

“Jadi memang ramai banget, selain pengunjung bisa membeli dan mencicipi aneka kuliner dari UMKM warga sini, juga bisa menikmati hiburan dan ikut serta dalam kirab budaya,” imbuh Nella.

Demitologisasi dalam Ritual Budaya Dosen dari Fakultas Budaya dan Sastra Unnes, Dr. Mulyono, M.Hum atau yang memiliki nama alias Sendang Mulyana, memberikan pandangannya terkait gelaran ritual budaya dan tradisi.

Berdasarkan sudut pandangnya, penyelenggaraan ritual budaya kerap kali mendapatkan pro-kontra sebab dinamika perubahan zaman yang dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat.

Sehingga, Sendang Mulyana menyebut jika dalam dinamika kebudayaan seringkali ada pertarungan gagasan, pandangan hidup bahkan sampai dengan keyakinan.

Hal tersebut ia katakan saat menjadi salah satu narasumber dalam Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’, pada agenda Forum Warga di Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jumat (19/7/2024).

Menurutnya, hal tersebut perlu penyikapan secara kultural. Apalagi jika ritual budaya tersebut, ada kaitannya dengan pelestarian alam maupun lingkungan sekitar.

“Misalnya persoalan ‘Wiwitan’, kalau di kampung saya, justru upacara untuk mengawali panen,” kata Sendang Mulyana, mencontohkan tradisi ritual yang masih subur di kampung halamannya.

Selanjutnya, Sendang Mulyana membahas tema festival dan kirab budaya dalam acara yang diselenggarakan di Kampung Jawi, bersama dengan Kolektif Hysteria selama dua hari tersebut.

“Kemudian ‘Labuhan Kali’. Dalam berbagai hal-hal, itu menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Satu, menghakiminya dalam hal keyakinan agama yang kemudian muncul istilah ‘musrik’ atau menyekutukan Tuhan,” ujar Sendang Mulyana.

“Di sisi lain, para pegiat budaya menganggapnya sebagai sebuah ritual untuk menghormati leluhur. Untuk melestarikan lingkungan dan sebagainya,” lanjut dia.

Untuk menyikapi hal tersebut, Sendang membedah ulang perihal pengertian dari istilah ‘tradisi’. Ia menegaskan, jika tujuan akhirnya demi menjaga lingkungan, seharusnya tak layak dijadikan perdebatan.

“Kalau muaranya untuk melestarikan lingkungan, seharusnya tidak terjadi pertentangan. Dapat menyikapinya sebagai sesuatu yang simbolik, untuk selanjutnya sesuai dengan cara dan keyakinan masing-masing, semua berkepentingan untuk menjaga lingkungan,” papar dia.

Sendang yakin, bahwasannya keyakinan apapun diajarkan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Hal itulah yang menjadi dasar penting dalam memandang adanya penyelenggaraan ritual budaya di sebuah tempat.

“Karena dengan seperti itu, masing-masing akan saling menghormati dan menghargai,” tegas Sendang.

Begitu pula dengan generasi ke depan, Sendang menyebut bahwa perubahan cara berpikir akan mempengaruhi penyikapan seseorang dalam menggelar ritual tradisi dan budaya. Sendang mengatakan bahwa tak menutup kemungkinan jika beberapa tahun nanti, anak-anak di Kampung Jawi dapat melestarikan Festival Labuhan Kali dengan cara yang berbeda dari gelaran generasi saat ini.

Menurutnya hal tersebut normal dan bukan sebuah kesalahan. Mengingat kebudayaan bersifat dinamis, sesuai perkembangan zaman.

“Demitologisasi. Dalam bahasa akademik artinya mencoba meninggalkan mitos, tetapi tidak menghancurkan mitos. Atau lebih tepatnya ya menciptakan mitos baru. Artinya apa? Ya persoalan lingkungan bisa lari ke UMKM, ada perkawinan yang kontekstual sesuai zamannya,” lanjut dia.

Hal tersebutlah yang tercermin dalam rangkaian acara puncak Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’ pada hari Sabtu sore, sekitar pukul 16.30 WIB. Di mana kirab budaya mengiring gunungan, dilakukan oleh warga sekitar dan para partisipan. Untuk selanjutnya diadakan pelepasan ayam jago dan penanaman sembilan bibit pohon jati sebagai simbolik.

Tak lupa, para pengisi acara kesenian seperti reog, wayang kulit, punakawan hingga tari-tarian mengisi konten acara. Bahkan, pembukaan pasar malam UMKM yang menjual berbagai olahan kuliner warga setempat pun diadakan.Agenda Festival ‘Labuhan Kali: Wiwitan’ adalah acara pertama warga Kelurahan Sukorejo, khususnya Kampung Jawi, yang digagas bersama Kolektif Hysteria, Semarang.

Acara tersebut masuk dalam rangkaian menuju ulang tahun Kolektif Hysteria yang ke-20, serta Event Strategis Program Dana Indonesiana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.(Heru Saputro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *