Ragam

Mantan Pekerja Gudang Mancis Ungkap Kisah dan Pengalamannya

Sumaterapost, Langkat – Tragedi kebakaran gudang perakitan alat pemantik api (mancis) PT Kiat Unggul yang menewaskan 30 orang di Jalan Tengku Amir Hamzah, Dusun IV, Desa Sembirejo, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, meninggalkan duka dan kesedihan mendalam bagi keluarga korban.
Hal itu pula yang dirasakan Khairani (27), ibu satu anak, sekaligus anak ketiga dari enam bersaudara hasil pernikahan pasangan suami-istri Hasan Suheri dan Kiptiah, warga Jalan Siswondo Parman, Lingkungan IV, Kelurahan Kwala Begumit, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat.
Kepada wartawan yang mengunjungi kediamannya, Selasa (25/6) lalu, Khairani tidak mampu menutupi kesedihannya saat menceritakan kenangan bersama sang kakak, Gusliana (31) dan adiknya, Sahmayanti (21), dua dari 30 korban meninggal dalam peristiwa tragis itu.
Dikatakannya, sang kakak, Gusliana, merupakan mandor pada gudang perakitan di Desa Sambirejo, yang memproduksi alat pemantik api bermerk toke. Sedangkan adiknya, Sahmayanti, berstatus buruh harian lepas (BHL) di gudang tersebut.
“Sampai sekarang pun, saya masih nggak nyangka mereka ikut jadi korban. Karena saat pertama tahu kabar kebakaran dari orang, kami kira itu cuma kejadian biasa. Tapi nyatanya banyak yang meninggal,” ungkap Khairani, didampingi sang ayah, Hasan Suheri (59), dan ibunya, Kiptiah (52).
Secara khusus Khairani bercerita mengenai pengalamannya bekerja pada gudang perakitan alat oemantik api di Desa Sambirejo. Sebab sejak 2014 hingga 2016 silam, dia pernah ikut bekerja bersama sang kakak, Gusliana, sebelum memutuskan berhenti setelah menikah dan memiliki anak.
“Setelah nikah, saya memang masih aktif kerja di gudang itu, sampai kira-kira satu tahun. Tapi akhirnya saya berhenti di tahun 2016, karena tak diizinkan lagi sama suami,” ujarnya.
Menurut Khairani, ada beberapa alasan yang membuat dirinya tertarik bekerja di tempat itu. Selain karena ingin berpenghasilan setelah lulus SMA dan membantu ekonomi keluarga, ada beberapa hal yang membuatnya antusias saat pertama kali ditawarkan pekerjaan merakit alat pemantik api oleh sang kakak, Gusliana.
Pertama, katanya. Lokasi gudang perakitan alat pemantik api cukup dekat dengan rumah. Bahkan suasana di lingkungan kerja juga nyaman, karena sebagian besar pekerja masih memiliki hubungan kekeluargaan dan saling bertetangga satu dengan lainnya.
Kedua, untuk bekerja di tempat itu, siapapun calon pekerja tidak perlu membuat surat lamaran resmi ataupun memberikan persyaratan administrasi khusus, layaknya prosedur lamaran pekerjaan pada umumnya.
Ketiga, pekerjaan merakit alat pemantik api relatif mudah, karena hanya memasang batu api, serta menyambungkan kepala pemantik api dengan badan tabung yang sudah berisi bahan bakar gas cair.
Bahkan jika tidak ada pimpinan perusahaan yang datang mengawasi, pekerja bebas berbincang dan bercanda dengan rekannya yang lain, termasuk pula dapat mencuri waktu dan kesempatan untuk membawa masuk anak-anaknya ke dalam gudang.
“Karena seluruh pertimbangan itulah, makanya saya mau kerja di sana, walaupun sebenaranya upah yang kita dapat nggak seberapa,” terang perempuan yang akrab disapa Rani oleh para tetangganya itu.
Meski begitu, lanjutnya. Setiap pekerja baru sama sekali tidak diberikan pelatihan khusus tentang teknik dasar perakitan mancis, termasuk prosedur penanganan ledakan gas dan kebakaran, serta penyelamatan dan evakuasi korban saat terjadi kebakaran.
Semua pengetahuan terkait teknis perakitan alat pemantik api diperoleh secara otodidak, termasuk prosedur pengamanan jika sempat terjadi musibah atau kecelakaan kerja.
“Semua pengetahuan iti kita dapat dari pengalaman. Soalnya di sana nggak ada istilah training. Wajar juga kalau ada pekerja yang sudah dua minggu kerja, tapi baru bisa sempurna merakit mancis,” pungkas Khairani.
Mengenai upah, Khairani mengaku jumlahnya ditentukan hasil pekerjaan dari masing-masing pekerja. Sebab selama tiga tahun menjadi buruh perakit alat pemantik api, dia mendapat penghasilan antara Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan.
Jumlah itu masih ditambah lagi dengan uang kerajinan sebesar Rp 80 ribu per bulan. Namun jika pekerja libur bekerja, walaupun hanya satu hari dalam sebulan, maka uang kerajinan itu akan dipotong sebesar Rp 40 ribu.
“Jadi, sistem kerjanya itu borongan. Setiap satu kotak isi 50 mancis yang siap dirakit, kita dapat upah Rp 1.100,-. Tapi itu dulu waktu saya kerja. Kalau sekarang katanya udah naik jadi Rp 1.200,- per kotak,” jelas Khairani.
“Biasanya upah diantarkan langsung tiap bulannya ke gudang oleh Bu Lisma (Kepala Bagian Personalia PT Kiat Unggul, LM). Sering dia datang ke gudang sama Pak Liu, untuk lihat orang kerja dan kondisi di sana,” imbuhnya.
Namun diakui Khairani, sistem pengupahan bagi buruh harian lepas berbeda dengan mandor. Sebab  upah mandor dibayarkan rutin setiap bulan oleh pihak perusahaan. Meskipun demikian, jumlah upah yang diterima mandor tetap saja di bawah besaran upah layak pekerja.
“Saya memang nggak pernah tanya langsung ke Lia (Gusliana), berapa jumlah gajinya. Tapi menurut yang lain, gajinya itu nggak sampai Rp 1,5 juta. Jauhlah dari UMK Deliserdang, seperti yang pernah dibilang orang BPJS Tenaga Kerja,” terangnya.
Karena mempertimbangkan besaran upah yang dianggap terlalu kecil itulah, tidak heran sebagian besar pekerja di gudang perakitan alat pemantik api adalah perempuan, baik mereka yang berstatus ibu rumahtangga maupun mereka yang baru lulus SMA.
“Kalau masa saya kerja dulu, ada juga pekerja laki-laki. Tapi karena upahnya kecil, mereka akhirnya keluar,. Makanya sekarang ini semua yang kerja di situ perempuan,” ungkap Khairani.
Secara terperinci, Khairani turut menjelaskan keadaan dalam gudang perakitan alat pemantik api di Desa Sambirejo. Menurutnya, seluruh bagian dalam ruangan itu telah ditata dengan sedemikian rupa. Selain itu, sejumlah sarana dan prasarana keamanan telah pula tersedia.
“Setahu saya, tempat untuk merakit mancis tetap di ruang tengah gudang. Di situ memang udah ada racun api. Ada juga disiapkan air dalam ember, sama kain basah. Biasanya kalau ada mancis yang meledak, atau keluar api, tinggal kita matikan aja,” tukasnya.
Namun menurut Khairani, tetap saja tidak ada fasilitas keselamatan yang diberikan untuk para pekerja, semisal helm ataupun kain penutup kepala, rompi dan celemek khusus industri, sarung tangan, serta sepatu.
Sementara itu, lanjutnya, ruangan dalam gudang sejak awal memang difungsikan sebagai tempat penampungan mancis yang sudah selesai dirakit maupun seluruh onderdil pendukungnya, adalah ruang belakang dan dapur, yang dekat dengan kamar mandi.
“Untuk tempat istirahat atau tempat makan siang, biasanya kami dulu di ruang depan gudang. Tapi tetap kita dilarang merokok di dalam. Sementara kondisi pintunya memang selalu dikunci dan digembok dari luar,” timpalnya.
Khairani sendiri mengaku tidak terlalu mengerti alasan perusahaan selalu menutup pintu depan gudang. Apalagi menurutnya, hampir tidak ada satupum pekerja yang pernah bertanya kepada pimpinan perusahaan ataupun mandor gudang mengenai hal tersebut.
Sebaliknya dia membantah keterangan Kepala Bagian Personalia PT Kiat Unggul, LM, salah satu dari tiga tersangka dugaan kelalaian dalam tragedi kebakaran itu, jika penutupan pintu depan gudang merupakan inisiatif Gusliana, selaku mandor, untuk mencegah akai pencurian.
Sebab selama dia bekerja di sana, mandor hanya bertanggungjawab atas kunci pintu samping dan belakang gudang, yang menjadi akses utama masuk dan keluar pekerja. Sedangkan penutupan pintu depan gudang adalah kebijakan dari perusahaan.
“Soal pintu depan gudang, saya pastikan nggak ada sangkut-pautnya dengan mandor. Soalnya mandor hanya pegang kunci pintu samping dan belakang. Lagian mana mungkin mandor berani buat keputusan, kalau tak ada perintah dari atasannya, seru Khairani.
Hal yang menarik dari keterangan Khairani, selama dirinya bekerja pada gudang perakitan alat pemantik api PT Liat Unggul di Desa Sambirejo, belum sekalipun ada oknum pejabat pemerintah dari dinas terkait maupun aparatur desa yang datang meninjau aktifitas para pekerja.
“Kita juga heran. Soalnya yang paling sering ke gudang itu orang dari OKP. Biasanya mereka datang bawa proposal, minta bantuan uang,” jelasnya.
Keterangan serupa juga dilontarkan Fitriani (26), ibu satu anak, sekaligus anak ketiga dari delapan bersaudara hasil pernikahan pasangan suami-istri Muhammad Yakub (53) dan Arbaniah (50), warga Dusun I, Desa Perdamaian, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat.
Fitriani merupakan kakak dari Khairani (22) dan Alfiah (19), dua pekerja gudang perakitan alat pemantik api Pt Kiat Unggul di Desa Sambirejo, yang ikut meninggal dalam tragedi kebakaran itu. Dia sempat bekerja di gudang tersebut sejak 2016 hingga awal 2019.
“Waktu awal saya kerja dulu, jumlah orang yang kerjanya di gudang itu sampai 36 orang. Tapi sekarang mereka batasi 30 orang saja. Nggak tahu juga alasannya kenapa,” ujar Fitriani.
Dia juga mengakui, gudang perakitan alat pemantik api PT Kiat Unggul di Desa Sambirejo tidak memiliki izin usaha industri khusus. Sebab izin aslinya hanya milik perusahaan induk di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
“Sebenarnya sejak dulu pun, memang udah sering ada ledakan. Terutama saat proses testing mancis atau dari barang sisa. Tapi karena sudah biasa, jadi rasa takut itu nggak pala kami rasakan. Karena begitu tahu ada api, langsung aja kita matikan,” ungkapnya.
Meskipun demikian, Fitriani mengaku trauma atas tragedi kebakaran gudang perakitan alat pemantik api PT Kiat Ungul di Desa Sambirejo. Apalagi kejadian tragis tersebut turut merenggut nyawa dua adik kandungnya.
“Terus terang, saya kapok. Dibilang takut juga iya. Apalagi kejadiannya sampai sebegini parah. Betul-betul nggak nyangka. Kalaupun misalnya ada lagi yang tawari buat kerja di pabrik kayak gitu juga, saya nggak mau lagi. Udahlah resikonya besar, asuransi pun nggak ada,” ungkapnya. (andi/tiara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *