Menanggulangi Ketahanan Pangan, Perlu Peraturan Daerah Untuk Menjaga Lahan Sawah
Jakarta – Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian dan Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) berkolaborasi mengadakan Webinar Nasional dengan topik “Strategi Peningkatan Produksi Tanaman Padi Sehat Yang Ramah Lingkungan Melalui Intensifikasi (IP-400) & Ekstensifikasi (PATB) Yang Berkelanjutan” di Jakarta, Kamis 3 Februari 2022.
Acara Webinar dibuka oleh Dr. Ir. Suwandi, M.Si selaku Dirjen Tanaman Pangan, Kementan RI dan dilanjutkan dengan presentasi masing-masing narasumber antara lain Dr. Ir. Mohammad Takdir Mulyadi, MSc, Ir. Sutarto Alimoeso, MM, Ir. Doddy Imron Cholid, MS, Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc dan Dr. Rachmat, S.Si., M.Si .
Wakil Ketua Umum DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia – HKTI Doddy Imron Cholid yang tampil dalam acara ini membawakan paparan dengan judul
“Reforma Agraria Untuk Kesejahteraan Rakyat”
Menurut Doddy, seluruh upaya pembangunan pertanian nasional dilaksanakan diatas tanah, termasuk program ekstensifikasi pertanian yang sudah pasti memerlukan tanah.
“ Pertanyaannya ada tidak tanahnya? Kalau ada, apa penggunaannya, bagaimana kemiringannya, bagaimana ketinggiannya, dan bagaimana penguasaannya. Itulah salah satu persoalan yang harus diselesaikan dalam rangka perluasan areal tanaman baru (PATB). Untuk mencari tanah tersebut bisa melalui kegiatan reforma agraria,” ujar Doddy
Lebih lanjut Doddy menjelaskan bahwa Luas NKRI sekitar 190 juta Ha, yang peruntukannya terbagi dua, yaitu kawasan hutan 120 juta hektar dan Areal penggunaan lainnya 70 juta hektar.
“Akibat dari peruntukan ini, saat ini terjadi ketimpangan struktur penguasaan tanah dimana kehutanan menguasai 63-70%, badan hukum 17%, masyarakat 16%, petani gurem 4%,” jelas Doddy.
Pada saat bersamaan, lanjutnya, luas wilayah NKRI ini relatif tetap, padahal pertumbuhan penduduk terus meningkat. Akibatnya ketersediaan tanah menjadi terbatas, dampaknya terjadi konversi penggunaan lahan sawah ke non-sawah.
Doddy menunjukkan bahwa data dari BPN dari tahun 2013-2018 ada 600.000 hektar yang terkonversi dari sawah ke non-sawah. Kenapa hal ini terjadi? Padahal kita punya UU no 41 Tahun 2009, yaitu Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Dalam rangka menanggulangi ketahanan pangan maka penegakan peraturan ini perlu ditingkatkan.
“ Caranya masing-masing Kabupaten/Kota harus sudah mendeliniasi lahan sawah (teknis/setengah teknis/non-teknis). Untuk membuat peta ini tidak terlalu susah, karena ada citra satelit resolusi tinggi. Dengan tersedianya peta di Kabupaten/Kota, maka pemerintah Kab/Kota dapat segera membuat peraturan daerah. Peraturan Daerah inilah yang menjaga lahan sawah agar tidak dikonversi ke non-sawah,” tandasnya.
Pada bagian lain, Doddy juga menyorot seringnya terjadi konflik agraria, konflik masyarakat dengan badan hukum, pemerintah, dan lainnya. Yang ironis adanya tanah telantar sekitar 4,8 juta hektar.
“Tentunya ini harus segera diselesaikan dalam rangka perluasaan tanaman baru dan memperbaiki ketimpangan struktur penguasaan tanah. Saat ini ada 15,4 juta petani gurem dan ada 12,4 juta penduduk yang miskin, ini kita pastikan petani yang tidak memiliki tanah,” tukasnya.
Mengatasi persoalan – persoalan tanah tersebut, dalam padangan Doddy harus dapat diselesaiakan dengan Reforma Agaria. Caranya, melalui aset reform, yaitu penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah/meredistribusikan tanah bagi petani sesuai peraturan perundangan.
“ Setelah diberikan aset, wajib dibangun akses reformnya. Objek/tanah yang dapat diredistribusikan kepada petani antara lain: HGU-HGB habis, 20% dalam proses pemberian perpanjangan dan pembaharuan hak, tanah terlantar, pelepasan kawasan hutan, dan lain-lain. Sedangkan subjeknya bisa perorangan, bisa kelompok, seperti koperasi/gapoktan,”katanya.
Selama ini, dalam konteks pengalaman reforma agraria, lanjut Doddy, ternyata setelah dibangun aset reform, petani tetap miskin karena tidak dibangun akses reformnya, untuk itu dalam rangka memberdayakan petani agar meningkat kesejahterannya perlu dibangun akses reform. Peningkatan kapasitas organiasai, pendampingan usaha, peningkatan keterampilan, penyediaan infrastruktur, mempermudah fasilitas permodalan, pasca panen yang baik, serta pemasaran.
“Kegiatan reforma tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden No 86/2018, penyelenggaraannya melalui tim Reforma agraria atau gugus tugas reforma agraria di pusat sampai di kabupaten,”pungkasnya. (***)