Semarang Gallery X ArtSociates Lawangwangi, Duo Show Exhibition Eddy Susanto & Mujahidin Nurrahman
Onlinekoe.com | Semarang – Semarang Contemporary Art Gallery bersama ArtSociates Lawangwangi Bandung menggelar dua pameran tunggal perupakontemporer ternama Eddy Susanto dan Mujahidin Nurrahman sekaligus.
Pembukaan helat pameran Tunggal Eddy Susanto yang berjudul “Renaissance of China (?)“ dan pameran Tunggal Mujahidin Nurrahman yang berjudul “Your Silence Will Not Protect You” akan diselenggarakan di Semarang Gallery, Jl. Taman Srigunting no.5-6 Semarang, Jawa Tengah, Sabtu pada Pukul 19.00 WIB, (27/11/21).
Menurut Chris Dharmawan dari di Semarang Gallery dalam rilisnya, pameran yang menampilkan karya terpilih dari seniman kontemporer Indonesia ternama Eddy Susanto dan Mujahidin Nurrahman ini akan berlangsung dan bisa dikunjungi publik mulai tanggal 27 November 2021 sampai 23 Januari 2022. Tentunya dengan mengutamakandan mengikuti protokol kesehatan.
Chris menambahkan dalam pameran ini Eddy Susanto akan menampilkan karya-karyanya terkini yang dikuratori sendiri (Self Curated by the Artist). Sedangkan Mujahidin Nurrahman dalam pameran tunggalnya ini dikuratori oleh Alia Swastika akan menampilkan karya-karya terpilihnya.
“Renaissance of China (?)“ By Eddy Susanto
Chris Dharmawan membabarkan Perupa Eddy Susanto yang bermukim dan bekerja di Yogyakarta adalah salah satu seniman kontemporer penting di Indonesia. Dia belajar desain grafis sebelum memulai karir seninya; ini mungkin pengaruh pendekatannya yang bijaksana dan terpelajar dalam seni.
“Karya-karyanya diciptakan dengan melakukan penelitian ekstensif pada titik-titik tertentu dalam sejarah, mengeksplorasi pengertian narasi sejarah dan perkembangan identitas,” terang Chris.
Mereka menggambarkan fragmen sejarah lokal yang sejajar dengan sejarah dunia, menyisipkan Timur kedalam elemen sejarah Barat. Lukisan-lukisan Eddy memasukkan penggalan-penggalan Jawa dalam aksarahanacaraka aslinya, yang diambil dari beberapa karya sastra dan manuskrip penting Jawa kuno.
Judul dari pameran ini, lanjut Chris, terinspirasi oleh artikel “Why China Did Not Have a Renaissance – And Why that Matters” yang ditulis oleh Thomas Maissen and Barbara Mittler 19 Februari 2019. Renaissance sering dicirikan sebagai zaman tertentu dalam sejarah Eropa dan elemen penting dalam narasi kebangkitan Barat. Di Barat
“Renaissance dengan huruf besar R memiliki pengertian sebagai sebuah Gerakan. Kata ini memiliki padanan tapi tak serupa dengan kata renascere (latin) atau renaissance dengan huruf kecil r – Kebangkitan Kembali,” imbuhnya.
Karya Eddy Susanto, mencoba menghadirkan tentang Renaissance of China (?) yang telah menjadi bagiantelaah banyak penelitian saintifik. Tanda Tanya dalam judul seri ini dimaksudkan untuk mempertanyakan kembali baik pemahaman r/Renaissance maupun periodisasinya. Robekan maupun kupasan yang dibuat dalam seri lukisannya di sini serupa dengan “membedah” kembali pengertian kata r/Renaissance.
Eddy Susanto juga melukiskan citraan karya yang dibuat oleh pelukis Barat pada era Renaissance Barat abad ke 16 dan mencoba membangun korelasi dari perspektif imajinatif bersama dengan Babad Kawung “Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung”.
“ Dalam babad semi imaginatif dan tendensius ini digambarkan migrasi Cina melewati Yunan sebelum tiba di Nusa-Kendheng. Migrasi tersebut mempengaruhi Kebudayaandan arsitektur Jawa,”´tandas Chris.
Tentang Mujahidin Nurrahman dan Karyanya
Perupa Mujahidin Nurrahman kelahiran Bandung juga tempatnya tinggal dan berkarya. Mujahidin menempuh studi seni grafis di Institut Teknologi Bandung, dan berkarya selama kurang lebih lima belas tahun. Telah melewati banyak pameran mancanegara.
“Kali ini Mujahidin membicarakan gender, politik identitas dan seksualitas pada karyanya. Dalam konteks gender, perspektif yang bersifat subjektif justru menjadi kekuatan untuk menampilkan feminism sebagai kerja berbasis pengalaman,” ungkap Chris.
Dalam karya-karyanya Mujahidin menceritakan ketertarikan isu identitas perempuan dalam Islam sebagai paying narasi, kemudian mengerucut pada pembahasan hijab sebagai representasi symbol perempuan muslim.
“Sepintas, karya yang dikerjakan Mujahidin untuk pameran ini mengolah citra perempuan dengan hijabnya dalambentuk yang mendasarkan pada “realisme”. Realisme yang merupakan gambaran atas apa yang terjadi di kehidupan nyata, ditransformasikan menjadi metafora baru dari observasinya terhadap peristiwa-peristiwa,” imbuh Chris.
Melalui simbol dan metafora yang ditemukan selama riset atas fenomena ini, lanjut Chris , Mujahidin membuat beberapa “fragmen” yang diterjemahkan menjadi berbagai medium dua dimensi dan tiga dimensi. Ikon perempuan mengenakan hijab menjadi citraan paling kuat yang muncul dalam seri karyanya kali ini, yang disejajarkan dengan beberapa ikon termasuk ornament geometris khas warisan Islam yang lebih dahulu digarap Mujahidin dalam seri karya sebelumnya.
“Pameran ini tidak serta merta dimaksudkan seniman untuk mengklaim dirinya sebagai feminis, dan bukan itu yang dibayangkan. Menjadi feminis adalah proses memasuki ruang percakapan dan menegakkan bendera putih untuk berdamai dengan beragam ketegangan atas kita dan mereka. Membangun dan membagi empati terhadap sesama,” ujar Chris Dharmawan owner Semarang Gallery mengutip ungkapan Mujahidin. (Heru Saputro)