UIN Gelar Peringatan Isra Mikraj 1444H, Rektor Jadi Penceramah
Bandar Lampung – Peringatan Isra dan Mikraj merupakan tradisi yang dibawa salaf al shalih (ulama terdahulu) yang patut dilaksanakan umat Islam di setiap tahunnya.
Demikian disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung (RIL), Prof Wan Jamaluddin Z MAg PhD, saat mengisi tausiyah dalam Peringatan Isra Mikraj 1444 H/2023 M yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, di Balai Kratun, Komplek Kantor Gubernur Lampung, Selasa (21/02/2023).
Prof. Wan mengatakan, jika seseorang sudah mengikuti peringatan Isra Mikraj sejak usia 10 tahun, maka di usia ke-40 dia sudah turut memperingatinya selama 30 kali.
“Seharusnya kita sudah tahu persis sejarah Isra dan Mikraj yang telah dilakukan Baginda Rasulullah Saw dan segala kejadian dan bahkan perintah yang turun pada saat itu. Lantas apa pentingnya kita memperingati Isra’ dan Mi’raj?” tanya Prof. Wan Jamaluddin saat membuka mauidah hasanahnya.
Menurut dia, berdasarkan kacamata sains, Isra Mikraj adalah perjalanan keluar dimensi ruang-waktu. Isra Mikraj bukan perjalanan biasa, bukan perjalanan dengan wahana antariksa, serta bukan perjalan antariksa di antara planet-planet, bintang-bintang, atau galaksi.
“Rekan-rekan ahli astronomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sudah melakukan riset dan menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya hidup di dalam dimensi ruang-waktu. Dimensi manusia ini dibatasi ruang dan dibatas waktu, seperti adanya ruang, jauh-dekat, masa lampau-sekarang-masa depan, serta waktu singkat dan waktu lama,” jelas dia.
Karena itu, lanjut Rektor, ketika itu, manusia atau sahabat Rasulullah Saw sekalipun kaget mendengar perjalanan kurang dari semalam dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Sebab, perjalanan dengan kuda tercepat pun butuh waktu cukup lama. Dan dengan Buraq itu (Rasulullah) keluar dimensi waktu ruang.
“Pertemuan di langit itu menggambarkan Rasul tidak lagi terikat pada waktu. Kita tidak perlu lagi bertanya, dan tidak relevan lagi bertanya di mana itu (pertemuan di langit yang tujuh) Sudah keluar dari dimensi ruang waktu,” ungkap dia.
“Manusia pada dasarnya mengenal batas dimensi. Saya bisa mencontohkan, sebuah perjalanan dua dimensi punya rute berbentuk huruf ‘u’ atau tapal kuda. Namun, perjalanan keluar dari dimensi dapat memiliki rute loncat dari ujung huruf u ke ujung huruf u satunya,” sambung Prof Wan Jamaluddin.
Secara lebih lanjut, Rektor menyebutkan bahwa setidaknya ada empat tema besar yang harus dipahami dari pelaksanaan Isra dan Mikraj.
“Pertama, keutamaan bulan Rajab, Kedua, Pentingnya silaturahmi untuk membangun ukhuwwah, Ketiga, pelajaran besar yang terjadi pada saat Isra dan Mikraj, dan keempat, memperbaiki ibadah kita melalui salat,” jelas dia.
Prof Wan menjelaskan, Rajab menjadi satu dari empat bulan suci. Hal ini, sesuai firman Allah Swt:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36).
“Tiga bulan suci dalam kalender Islam ternyata berurutan, yaitu Zulqaidah, Zulhijah, dan Muharam. Bulan Rajab berada tepat sebelum Syakban dan Ramadan, bulan yang paling ditunggu umat Islam dengan adanya Idulfitri,” terang Rektor.
Kedua, lanjut dia, pentingnya silaturahim untuk membangun ukhuwwah. Peringatan hari-hari besar yang dilaksanakan, khususnya peringatan Isra dan Mikraj, maka hal itu bisa menjadi ajang silaturahmi di antara manusia.
“Silaturahmi secara fisik, sehingga semakin dekat antara ulama dan umara dalam menjalankan suatu roda amanat sebagai khalifah di muka bumi ini,” kata dia.
Menurut Prof Wan Jamaludin, silaturahmi dapat membuat manusia saling menjaga ukhuwah, yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah. Tiga pilar inilah yang akan menghantarkan kedamaian dan ketentraman.
Dijelaskannya, ukhuwah islamiyah adalah persaudaraan dijaga karena adanya hubungan satu keyakinan secara internal. Karena agama adalah intertum bagi manusia secara individu yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun. Manusia memiliki keyakinan terhadap agama yang diyakininya.
“Meskipun banyak sekali perbedaan dalam pemahaman agama, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok dan golongan-golongan, namun demikian, kita harus tetap berupaya menjaga perbedaan tersebut sebagai kodrat Ilahi yang tidak dapat kita samakan. Justru dengan adanya perbedaan tersebut akan semakin banyaknya wacana dan ilmu yang kita miliki,” katanya.
Begitupun ukhuwah wathaniyah. Dalam bernegara, manusia tidak lepas dari banyaknya corak, suku, bahasa, etnis maupun budaya. Namun demikian setiap manusia harus tetap menjaga nilai-nilai kebersamaan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tetap menjaga perbedaan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
“Meskipun kulit kita berbeda, bahsa kita berbeda, etnis dan budaya kita berbeda, namun kita tetap menjaga nilai ukhuwah wathaniyah, satu Taanah Air Indonesia,” tegasnya.
Sementara ukhuwah insaniyah sebagai hamba Allah yang diciptakan dengan banyaknya pemahaman yang tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya, maka bagaimana seseorang harus tetap menjaga nilai-nilai kebersamaan dengan tetap menjaga kebersamaan dalam ikatan kemanusiaan. Termasuk dalam menghargai umat agama yang berbeda karena itu merupakan ajaran baginda Rasulullah Saw dalam perjanjian Madinah.
“Sehingga dengan silaturahim ini kita dapat berbagi cerita dan berbagi kebaikan, di antaranya beberapa hal yang dapat kita lakukan. Pertama, arti hadirnya bulan-bulan mulia ialah hendaknya kita tahu dan paham amalan-amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Paham bahwa amal baik dan perbuatan maksiat akan dilipatgandakan pada bulan-bulan tersebut,” katanya.
Kedua, lanjut Rektor, ibadah yang terlaksana dalam rangka menjaga hak sesama merupakan ibadah yang bernilai tinggi.
“Perlu diketahui bahwa hak-hak Allah swt itu mencakup seluruh hak-hak hamba-Nya,” kata dia.
“Ada dua macam hak Allah Swt. Yakni hak asasi dan hak Allah swt yang bersifat multipel (bersifat ganda/lebih). Hak Allah Swt yang bersifat multipel ini merupakan hubungan antara kita dengan sesama hamba. Pada hakikatnya merupakan hak Allah swt, namun Allah swt memposisikan dzat-Nya dalam setiap hubungan antara sesama manusia,” sambung dia.
Ketiga, regleksi hati menjadi barometer terhalang dan tidaknya Rahmat Allah Swt. Kondisi hati yang tahu hanya manusia sendiri dan Allah Swt.
“Artinya, rahmat Allah Swt akan senantiasa tercurah ketika hati kita tidak ada rasa kebencian, iri, dendam maupun penyakit lain yang membelenggu, dalam hal ini kita telah menunaikan hak-hak sesama. Begitupun sebaliknya,” katanya.
Keempat, pentingnya silaturahim dan bahaya bagi pemutus talinya. Balasan bagi pemutus tali silaturahim sebanding dengan pelaku dosa besar.
“Dari itu, Allah Swt sangat mewanti-wanti agar tidak terjadi dalam kehidupan kita. Bahkan Allah memposisikan silaturahim sejajar dengan takwa kepada Allah swt. Hal ini kita bisa lihat dalam firman-Nya, disebutkan kalimat silaturahim setelah kalimat takwa kepada Allah swt dengan tanpa memakai huruf athaf seperti fa’ dan tsumma. Justru memakai huruf al-wau,” jelasnya.
Kelima, indikator permusuhan; duniawi, hawa nafsu, dan ketergesaan (melakukan sesuatu tanpa pikir panjang).
“Terakhir, menjaga diri dari penyebab terjadinya pertikaian semata-mata takut dan cinta kepada Allah Swt. Hati manusia yang memiliki tingkat keimanan yang kuat akan menghindari segala macam yang akan menyebabkan pertikaian. Baik itu berupa harta benda, maupun perkataan-perkataan yang akan memantik timbulnya permusuhan,” katanya.
Hikmah ketiga dari peringatan Isra Mikraj adalah banyaknya peristiwa penting yang terjadi di bulan Rajab. Kejadian-kejadian penting terkait kehidupan Rasulullah itu bisa dijadikan pelajaran dan pedoman bagi setiap Muslim.
“Keempat, memperbaiki ibadah kita melaui salat.
Peristiwa Isra Mikraj berlangsung pada tanggal 27 Rajab tahun kesepuluh kenabian. Tepatnya, sebelum beliau hijrah ke Madinah,” katanya.
“Isra Mikraj terjadi pada tahun 621 M, atau tahun 10/11 dari kenabian (Bi’tsah). Jumhur ulama menyebutkan tanggalnya adalah malam Jumat tanggal 27 Rajab,” sambung Prof Wan.
Prof Wan Jamaluddin menjelaskan, salat merupakan ibadah yang pertama kali akan dihisab oleh Allah swt. Salat merupakan barometer.
“Jika salat seseorang baik, maka akan baiklah segala amal ibadah lainnya. Begitu juga jika kita buruk dalam salat kita, maka akan juga berimbas pada ibadah kita yang lainnya,” katanya.
Hadir dalam kegiatan tersebut Gubernur Provinsi Lampung yang diwakili oleh Sekda Provinsi Lampung Ir Fahrizal Darminto MA, unsur Forkopimda se-Provinsi Lampung dan ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung. (***)