Ragam

Onlinekoe.com, Bandarlampung – Oknum dosen berinisial SH terduga cabul pada mahasiswanya, EP (20) hingga saat ini masih aktif mengajar.

Masih aktifnya SH di universitas berbasis agama Islam terbesar ini menyisakan traumatik mendalam bagi EP.

“(SH) Masih ngajar. Mau enggak mau ketemu (EP). Sepapasan pasti ngeliat. Anak saya (EP) begitu ngeliat kayak bayangan (SH) lari tunggang langgang, takut dia (EP),” kata A orang tua EP, saat ditemui di kediamannya, di Kotabumi, Lampung Utara, Selasa (05/02/2019).

Ibu tujuh anak inipun meminta pihak UIN untuk men-nonaktifkan oknum dosen terduga cabul itu.
“Anak saya ketakutan. Gemetaran kalo liat dia (SH),” kata A.

Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) SN Laila meminta semua pihak untuk jernih melihat persoalan ini.
“Ini persoalan hukum maka semua pihak tentu harus mempercayakan pada proses hukum. Pihak kampus, juga segera harus bergerak dan bertindak. Sebab ini persoalan orang perorang (dosen) agar institusi kampus tidak terbawa-bawa,” kata SN Laila, Rabu (23/01).

Ada beberapa poin yang disarankan oleh aktivis perempuan dari Lembaga Advokasi Perempuan Damar tersebut.  Pertama, pihak kampus harus bergerak dan berperan dengan segera menonaktifkan dosen yang dilaporkan tersebut.
“Pihak Kampus UIN ya harus segera bertindak. Jangan sampai institusi terbawa-bawa seolah-olah tidak ada tindakan. Akhirnya wajar ada orang yang mengomentari. Perkara nanti dosen tersebut diputus hakim tidak bersalah, pihak kampus bisa mengambil keputusan lagi. Jadi menonaktifkan ini bukan berarti memecat ya. Selesaikan dulu persoalan hukumnya. Jangan menunggu selesai proses hukum,” ungkap Laila.

Kasus pelecehan seksual, kata dia, sama seperti kasus pidana lainnya. Misalnya jika ada kasus korupsi atau pidana lainnya, maka pejabatnya ya dinonaktifkan dulu untuk menyelesaikan urusan hukumnya agar lebih objektif.
Selain itu, lanjut dia, pihak kampus juga harus melindungi korban. Sebab, dalam hal ini psikologi korban sedang hancur. Di sisi lain, korban yang mahasiswa saat ini masih butuh meneruskan pendidikannya.

“Pihak Kampus jangan sampai mempertaruhkan institusi untuk persoalan orang perorang (orang). Pihak UIN harus bertindak dan mendorong agar hal ini bisa tuntas. Dengan menonaktifkan dosen itu, maka korban juga bisa lebih aman dan tidak merasa takut dalam melanjutkan pendidikannya. Bayangkan, jika korban masih harus bertemu dengan dosen yang melakukan kejahatan padanya. Kampus juga bisa membantu korban agar tidak merasa dikucilkan atau perasaan minder lainnya. Jadi dalam hal ini korban harus dilindungi, karena korbanlah yang dalam posisi lemah,” terangnya.

Selanjutnya kata dia, pihak kampus mempercayakan proses hukum di kepolisian yang berjalan. “Di kampus UIN kan ada Fakultas Hukum, maka serahkan ke proses hukum. Tapi ya harus berperan dengan menonaktifkan dosen tersebut dan melindungi korbannya,” tandasnya.

Terkait dugaan jumlah korban yang lebih dari satu, SN Laila menyatakan bahwa biasanya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan seperti sekolah, kampus, pondok pesantren, atau yang lainnya itu lebih dari satu.

“Penelitian kami di DAMAR, memang kalau di lembaga seperti pendidikan itu biasanya lebih dari satu. Tetapi, untuk bisa membuka kasus ini dan siapa saja korbannya itu tidak mudah,” tandasnya.

Tidak mudahnya mengungkap siapa saja korban, terus Laila, lantaran kondisi psikis korban yang hancur, maka sangat sulit untuk dia mengaku dan bercerita.

“Jadi adanya satu korban yang sudah berani melapor ke polisi ini harus diapresiasi. Bayangkan, dia berani mempertaruhkan masa depannya dengan membuka pengakuan untuk melapor. Di saat kondisi psikologisnya yang sedang jatuh sekali. Maka korban ini harus didampingi dan diapresiasi,” terangnya.

Diketahui, salah satu Mahasiswi Fakultas Ushuludin UIN yang tergabung dalam PMII yang merupakan Ketua Kopri (PMII Puteri) rayon Ushuludin diduga mendapatkan pelecehan seksual oleh oknum dosen SH.

Rektor UIN, Prof. Dr. H. Moch. Mukri siap dikritik dan menerima saran.

“Pada hakekatnya, kami tidak menutup mata terkait adanya dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oknum dosen UIN pada salah satu mahasiswinya. Semua kritik dan saran kami terima dan pasti akan kami tindaklanjuti,” kata Prof. Mukri, Selasa (22/01/2019).

Karenanya, lanjut Mukri pihaknya kini menyerahkan proses kasus ini ke aparat penegak hukum. Tentunya dengan mengedepankan azas praduga tidak bersalah.
“Tidak perlu berspekulasi dan mengada-ngada, seperti katanya-katanya begitu. Supremasi hukum harus dihormati dan dijunjung tinggi. Biarkan proses hukum berjalan dan kita percayai. Lagian masyarakat juga sudah sangat cerdas,” papar Mukri.

Yang keliru lanjut Ketua PWNU tersebut adalah, ketika menggeneralisir permasalahan yang terjadi. Misalnya ada kata-kata yang menyebut kampus UIN merupakan diduga sarang maksiat. Itu jelas merupakan cara berpikir yang salah. Ibarat di suatu masjid ada sandal atau sepatu yang hilang. Masa’, lalu disimpulkan jika masjid tersebut merupakan sarang copet atau pencuri.

“Hal ini yang membuat teman-teman civitas akademis UIN, mulai dari mahasiswa, dosen, karyawan beserta para alumninya yang terdiri dari berbagai profesi dan tersebar di berbagai instansi di seluruh provinsi di Indonesia bahkan beberapa negara, merasa tercemarkan nama baiknya. Merasa terusik, harkat dan martabatnya sehingga membawa persoalan ini keranah hukum. Untuk diketahui, saya sebagai pimpinan tertinggi di UIN tidak akan intervensi, apalagi ikut campur. Lebih-lebih memprovokasi. Sekali lagi, biar proses hukum yang akan membuktikannya,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *