Polri Perlu Terapkan Restorative Justice dalam Kasus Rocky Gerung
Jakarta – Kritik atas kebijakan negara di bawah kepemimpinan Jokowi yang disampaikan Rocky Gerung telah memantik 13 laporan kepolisian dan demonstrasi artifisial di beberapa tempat. Menurut Peneliti Senior Setara Institute Ismail Hasani, di tengah kohesi sosial yang segregatif, pro dan kontra atas pernyataan RG sangat mungkin terjadi dan sangat mungkin sengaja dibuat, sehingga terjadi keonaran.
“Kualitas demokrasi dan keadaban publik yang semakin ringkih telah memungkinkan pernyataan RG menjadi kapital politik bagi conflict entrepreneur dan avonturir politik untuk memainkannya secara terbuka guna menunjukkan prestasi semu pada patron politiknya dan memetik insentif politik elektoral pihak manapun yang berkontes,” ujar Ismail Hasani di Jakarta .
Membaca dinamika respons publik atas RG, lanjut Ismail, sangat kuat bahwa kasus ini sesungguhnya merupakan bentuk pelintiran kebencian atas RG. Substansi kritik RG sesungguhnya mewakili aspirasi publik yang selama ini tersumbat atau disumbat.
“Kemarahan dan keonaran artifisial yang saat ini mengemuka nyatanya hanya ditunjukkan oleh kelompok relawan dan pegiat demonstrasi musiman. Sebagian besar masyarakat lebih berfokus pada substansi, sekalipun menyayangkan pilihan diksi RG,” paparnya
Ismail menjelaskan, Hate Spin atau pelintiran kebencian adalah gabungan dari konsep hate speech (ujaran kebencian) dengan kemarahan karena ketersinggungan (offence-taking), dimana hal ini banyak digunakan oleh para “entrepreneur” politik untuk memobilisasi pendukung dan menyerang kelompok sasaran tertentu (Cherian George, 2017). RG hari ini menjadi korban pelintiran ini, setelah pernyataannya direspons secara berjarak dengan jeda waktu dari peristiwa dan orkestrasi struktural.
“Dibanding repot mencari-cari delik pidana untuk menjerat RG, jika memang tidak bisa mengabaikan berbagai pelaporan warga dan relawan Jokowi, Polri bisa mengambil langkah moderat dengan menerapkan restorative justice sekaligus memainkan peran dialog dengan pihak-pihak yang berkeberatan,” tukasnya
Lanjunya, Polri bisa menjadi jembatan demokrarik untuk tetap menjaga ruang publik tetap sehat dan demokratis. Sekaligus memutus praktik berulang tuduhan pembungkaman dengan menggunakan instrumen hukum. (amr)