Ragam

Juniardi: Masyarakat, Aparat Penegak Hukum, Advokad Hormati Kemerdekaan Pers

Onlinekoe.com – Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung, Juniardi SIP, MH, Mengingatkan masyarakat, termasuk aparat penegak hukum, dan advokad untuk menghormati kemerdekaan pers, yang dijamin oleh UU no 40 Tentang Pers. Tentunya terhadap wartawan, dan media, yang profesional dengan menjunjung etika pers, kan kode etik jurnalistik.

Hal itu disampaikan Juniardi, terkait adanya somasi kepada delapan media online, yang dilakukan oleh salah seorang oknum PNS di Pesawaran, yang terlibat pertikaian dengan pedagang. Yang diberitakan kemudian menggunakan pengacara mengirim somasi. Sementara oknum yang diberitakan tidak pernah melakukan hak jawab, hak koreksi, yang dijamin UU Pers.

Sementara, kata Juniardi, ada aturan tentang tanggung jawab media baik cetak, online, TV, menurut KUH Perdata dan menurut UU Pers. Ada yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan termasuk yang merugikan pihak lain, dan didalamnya ada mekanisme penyelesaian yang harus ditempuh apabila ada pemberitaan yang merugikan pihak lain.

Alumni Magister Hukum Unila ini menjelaskan bahwa Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) adalah lex specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan juga terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Sehingga dalam hal terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Terhadap hal-hal yang tidak diatur di dalam UU Pers, baru kita merujuk kepada ketentuan-ketentuan di dalam KUHPer atau KUHP.

Secara akademis, menurut Juniardi, Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar dalam buku yang berjudul Menegakkan Kemerdekaan Pers: “1001” Alasan, Undang-Undang Pers Lex Specialis, Menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers, disebutkan bahwa UU Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik.

“Mulai dari mencari, memilah dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers (hal. xvii). Oleh karena itu, menurut mereka, dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali). Dalam hal ini berlakulah asas yang universal berlaku, lex specialis derogate legi generali. Ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan yang umum,” kata mantan Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung ini.

Mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan yang merugikan pihak lain, lanjut Juniardi, bahwa secara teknis hukum, perusahaan pers harus menunjuk penanggung jawabnya, yang terdiri dari dua bidang yaitu, penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang redaksi.

“Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambil alih oleh perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab itu,” kata Mantan Wartawan Lampung Post ini.

Hal tersebut, lanjut Juniardi, sesuai dengan Pasal 12 UU Pers yang mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi, yang kini oleh dewan pers, juga telah diatur, bahwa penanggung jawab harus wartawan yang telah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW), tingkat Utama.

Lalu, katanya, mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat [2] UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3] UU Pers).

“Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain,” jelas Juniardi.

Sekertaris Serikat Media Siber (SMSI) Lampung ini menjelaskan bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers, yang disesuaikan dengan adanya kode etik wartawan yang baru adalah pertama-tama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi.

“Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayaninya. Dan orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar,” katanya

Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) (sebagai kode etik wartawan yang baru), yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.

Lalu, selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers). Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Permasalahan akibat pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun demikian, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan UU Pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi.

“Yang paling penting, tanggapan dari pers atas Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 13 UU Pers. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya,” katanya.

Dia menambahkan, bahwa Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Pada sisi lain, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan, secara perdata atau pidana. Dan lembaga itu masing masing memiliki acuan terkait delik pers.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *