KPPU dan Polri Dihimbau Selidiki Kolega-kolega yang Diduga Sabotase Minyak Goreng
Onlinekoe.com | Keseimbangan harga dan kesiapan minyak goreng yang tidak bisa dikelola dengan baik oleh pemerintah, diduga karena ada sabotase ekonomi oleh beberapa pengusaha yang bekerjasama dengan sejumlah oknum di dalam pemerintahan.
Sedemikian penjabaran Wakil Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Eko Listiyanto, dalam diskusi virtual Jakarta Journalist Center bertajuk “Amannya Minyak Goreng untuk Rakyat”, Kamis (24/03/2022).
Eko memastikan setuju jika persoalan minyak goreng bagian dari sabotase ekonomi. Sebab, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan negara, dalam hal ini pemerintahan, untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan untuk hajat hidup orang banyak.
“Harusnya harapan sebetulnya ke regulator, pemerintah, untuk bisa menjadi wasit yang adil baik untuk konsumennya maupun produsennya,” ujar Eko.
Lanjutnya, apabila terjadi sabotase ekonomi seperti sekarang ini, maka Eko menyarankan beberapa lembaga penegak hukum negara terkait untuk mengusut tuntas pihak-pihak dari pengusaha maupun pemerintah yang diduga terlibat dalam masalah ini.
“Ketika sudah terjadi seperti sekarang ini, secara instrumental kita punya lembaga-lembaga yang harusnya bergerak, entah itu KPPU, entah itu Polri untuk kasus hukumnya,” ungkapnya.
Eko juga melihat seharusnya Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga ikut bertanggung jawab atas pencabutan HET yang menimbulkan ketidakstabilan harga minyak goreng di pasar.
Tetapi justru sejak tahun lalu, Indef melihat Kemendag ada salah kelola terhadap CPO, sehingga muncul kelangkaan di saat HET masih berlaku. Namun, setelah dihapus minyak goreng membanjiri banyak retail dengan beragam merk baru dan harganya melonjak tinggi.
“Ini garda terdepannya ialah kemendag, karena ini tupoksinya dia tapi kalau ditarik ke belakang pada tahun lalu sebenarnya ini banyak aspek. Misalkan pengawasan terhadap DMO-nya tidak ketat, sehingga dibiarin aja ada minyak kita yang lari ke luar negeri, padahal seharusnya itu dipakai untuk produksi dalam negeri,” jelasnya.
“Implikasinya masyarakat bawah harus membeli migor kemasan yang harganya sudah 24 ribu hari ini, atau bahkan lebih di beberapa tempat. Daya belinya tergerus. Apa yang terjadi? Ya udah enggak bisa (dikatakan) negara kalah lagi, emang enggak bisa berbuat apa-apa,” tutup Eko. (RMOL)