Kuala Mesuji, Sebuah Teks Yang Menyapa Kita
Prolog oleh:
DR. H. Andi Desfiandi, SE, MA
Di hadapan saya tergeletak sebuah novel berjudul Maafkan Aku Kuala Mesuji yang becerita tentang pejuangan sosok Lin dalam mencari jati dirinya. Sampai kemudian terhanyut di Sungai Mesuji dan bertemu dengan anak-anak Kuala. Penulisnya, Fajar Mesaz memberi saya novel itu ketika berkunjung ke Kampus Biru Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya. Dan meski boleh dibilang bukan pembaca novel yang maniak –untuk tidak mengatakan jarang sekali membaca buku-buku ber-genre sastra, tapi kali ini saya meyukai setidaknya dengan dua alasan.
Pertama, isu yang di angkat adalah sebuah realitas sosial di wilayah perbatasan antara Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Tulangbawang, akibat Pekerjaan Rumah yang belum tuntas atas pemekaran wilayah. Dengan menulisnya berupa novel fiksi, Fajar –begitu sapaan penulis asal Mesuji ini– sedang memilih jalan untuk melakukan sesuatu daripada sekadar menghakimi berbagai pihak.
Kedua, Fajar sengaja mengesampingkan persoalan ‘konflik batas’ itu dan mengajak para pembaca untuk memikirkan nasib anak-anak yang, disadari atau tidak, sudah menjadi korban. Tentu ini bukan sekadar pilihan humanis tapi juga mendalam; bahwa nasib anak-anak bangsa adalah sebuah jalan takdir untuk diusahakan oleh siapa saja.
Berangkat dari dua hal tersebut, saya kemudian berpikir; sebaiknya, novel ini tidak hanya berhenti di sini, sebab pasti masih banyak lagi yang belum disampaikan agar bisa melihat keberadaan Kaula Mesuji dalam potret-potret berbeda. Dan gayung itu ternyata bersambut. Beberapa waktu setelah mengunjungi IIB Darmajaya, Fajar meminta saya untuk memberikan prolog pada novel Kuala Mesuji 2 yang dia beri judul Ketika Ikan-ikan Pergi. Dengan tanpa berpikir panjang pula, saya segera mengiyakannya hingga kami kembali bertemu dalam sebuah diskusi yang agak panjang lebar.
Sebagaimana novel pertama, Ketika Ikan-ikan Pergi masih bercerita tentang pergulatan anak-anak di Kualasidang atau Kuala Mesuji. Juga perjuangan Lin, Jebat, Mak Romlah, Pak Mustar, Cik Dar, Parangin-angin dan tokoh lainnya.
Diawali upaya Jebat untuk mendapatkan ikan dori sebagai mahar yang diminta Lin atas rencana pernikahan mereka, konflik bermula setelah pemuda itu hilang ditelan badai. Lin dan Mak Romlah panik dan meminta pertolongan Pak Mustar yang segera menggerakan masyarakat Kuala. Pencarian dilakukan dengan menyusuri sepanjang tepi laut dan membentuk tim ke tiga arah berbeda. Hari-hari melelahkanpun berlalu. Ombak laut Jawa menjadi saksi bagaimana mereka akhirnya harus menghentikan segala upaya setelah meyakini Jebat tak mungkin ditemukan.
Meski demikian, keputusan itu sama sekali tak mudah terlebih bagi Pak Mustar Fajar menuangkannya dalam diksi-diksi yang menegaskan sangat terang:
Di dalam jantung Dusun Kuala setidaknya sudah berlangsung hari-hari yang penuh kepanikan, selain juga harapan-harapan yang akhirnya menguap. Para orang tua lelaki kehabisan jawaban ketika istri dan anak-anak mereka terus bertanya tentang nasib Jebat dan garis hidup atas dirinya. Kecuali itu, para lelaki juga mulai merasakan bagaimana rasanya menjadi seseorang yang harus menyerah oleh keganasan badai lautan dengan sebenarnya.
Pada saat semua kemungkinan seolah tertutup itulah, anak-anak SD Swasta Kuala diam-diam mulai menyusun rencana sendiri. Melalui buku-buku yang diberikan para donatur di perpustakaan, Laot mengajak kawan-kawannya merakit drone untuk melanjutkan pencarian.
Pada bagian ini Fajar seakan hendak meneguhkan keajaiban bagi mereka yang tekun membaca, sekaligus peranan sebuah buku dalam era kehidupan modern yang tak mungkin dihindari. Tenggoklah penekanannya:
Percayalah! Anak-anak Kuala Mesuji juga tak perlu tenggalam dalam fitur-fitur Android hanya agar mengetahui banyak hal. Buku-buku di perpustakaan sudah menjadi kepingan daun jendela yang menunggu untuk dibuka, dan dengan itu mereka mempelajari apapun. Pembicaraan yang masih menggantung saat berada di kelas, juga akan diselesaikan dalam kekhusukan membaca halaman-halaman buku dan lagi-lagi, demikianlah kebiasaan baru mereka yang maha mencengangkan.
Pesan atas pentingnya keberadaan buku diekspresikan dalam bentuk kemampuan ‘membaca’ yang luar biasa –sebagaimana saya melihat proses kreatif Fajar Mesaz yang juga mengawali dunia kepenulisannya melalui kerja-kerja autodidak dan banyak membaca. Dan ini menjadi legitimasi bahwa, membaca merupakan induk dari semua pencapaian sebagaimana Allah SWT juga menanamkannya pada diri Rasulullah SAW melalui ayat-ayatNya yang indah: Bacalah dengan (menyebut) nama Robbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakkan manusia dengan segumpal darah. Bacalah dan Rabbmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qolam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui (QS Al ‘Alag: 1-5)
Kegigihan Loat dan kawan-kawannya juga memperlihatkan etos kerja dan lipatan semangat sebagai kunci atas datangnya cahaya terang di kemudian hari. Meskipun, proses untuk mewujudkan Drone ini adalah hari-hari yang penuh kecemasan. Hari-hari di mana bocah-bocah ini dibuat kebingungan harus mencari dana ke mana.
Sebagaimana novel pertama, sentuhan humanis kembali mencuat dalam kondisi seperti ini; Cik Dar diam-diam memutuskan berhenti dari Pawang Buaya karena harus menjual perahunya; Koh Alai berjibaku mencarikan sebagian bahan yang diperlukan untuk merakit Drone itu; Parangin-angin mendonasikan penghasilan dagangnya; Pak Mustar menemui Sam dan Laz dan meminta mereka untuk memfasilitasi; Lin dan Mak Romlah terus menguatkan dalam doa. Demikianlah sebuah kerja sama disuguhkan secara mencengangkan hingga pembuatan pesawat tanpa awak itu terwujud dengan lahirnya Drone K17 atau Drone Kuala 2017.
Berakhirkah kegelisahan mereka setelah itu? Tenyata belum. Sebab meski Drone yang dimpikan akhinya terwujud, proses pencarian Jebat tidak lantas semudah membalik telapak tangan. Loat sebagai mentor bahkan sempat putus asa ketika benda yang mereka andalkan itu ikut lenyap digulung badai. Sampai kemudian Pak Mustar hadir untuk memancangkan keteguhan pada mas-masa yang teramat genting:
“Andai Drone kalian benar-benar tak mungkin diselamatkan, aku ingin kalian mendengar janji seorang Kepala Suku yang akan mengajak semua orang untuk membahasnya kembali sebab ini menyangkut nasib Jebat dan masa depan anak-anak di luar kalian. Aku berjanji untuk itu dan kalian bisa mempercayainya!”
Sebuah kalimat penyemangat datang menguatkan yang bukan saja bertabur kata-kata indah tapi juga bernas dan bergelimang teladan.
Kritik dan sindiran juga terkemas lembut dalam bahasa yang konservatif pada novel ini.
Pesan-pesan moral dihubungkan secara relevan dan menjadi pengetahuan lebih yang bisa didapatkan pembaca. Di sinilah saya berkesimpulan bahwa, Fajar sesungguhnya berharap seluruh pembaca bisa mendapatkan ‘sesuatu yang lain’ tentang Kuala Mesuji sebagai setting objek cerita.
Novel ini berakhir menggantung meski happy ending dan saya menduga, ini adalah cara Fajar untuk meletakan pondasi bagi novel berikutnya.
Setelah melalui proses penyelamatan Jebat yang melelahkan, prosesi pernikahan pemuda itu dengan Lin tergambar sekilas di halaman akhir:
Sementara itu, Jebat terus berharap pernikahannya akan berlangsung khidmat kecuali sedikit kelucuan yang akan membuat tamu undangan termangu melipat bibir. Puang Lengkese pasti tercengang terutama saat nanti dia berkata, “Kunikahkan engkau dengan Lin Binti Karto Wijoyo dengan emas kawin selembar kertas putih bertuliskan IKAN DORI dibayar kontan…” dan Jebat menjawab, “Saya terimah nikahnya dengan emas kawin tersebut!”.
Cobaan panjang, derita tak berputus serta kesulitan demi kesulitan yang terus menghantam, sama sekali tak menyurutkan langkah Lin untuk meneguhkan kebenaran rencana Tuhan atas: Tuhan tak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Dan perjalanan panjang atas hal itu adalah rentang jalan ujian yang memang harus dilalui untuk menguatkan: Apakah manusia itu mengira bahwa, mereka dibiarkan begitu saja mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya, Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (QS Al-Ankabut:2-3).
Karena itulah, sebagai spirit moral, tak berlebihan jika saya berharap ‘novel lokal’ ini bisa diterima masyarakat sebagaimana novel-novel fenomenal lainnya. Terlebih, seperti yang disampaikan Fajar, ini adalah novel kedua dari trilogi Kuala Mesuji yang sedang ia rencanakan.
Selamat kepada Fajar Mesaz yang setidaknya sudah memperlihatkan bahwa, sebuah karya sastra lokal tetap harus menggerakan pembacanya, meski saya tahu itu bukan hal mudah. Selain harus memilki dan menjaga ‘rasa’ sebagai sebuah teks yang akan menyapa siapa saja, karya sastra juga menuntut ketekunan dalam membaca berbagai fonomena yang terkadang dianggap kecil oleh sebagian orang. Dengan hadirnya novel ini, setidaknya Fajar Mesaz sudah melakukan langkah ‘kecil’ dan bagi saya, itu jauh lebih baik daripada terus-menerus menyemai kontroversi atau ujar kebencian kemudian membiarkan polemik menjadi bahan untuk saling hujat.
Wallahu’alam. (*)